Bagaimana Riwayat Penanganan Banjir Jakarta dari Gubernur ke Gubernur?

Bagaimana Riwayat Penanganan Banjir Jakarta dari Gubernur ke Gubernur?

Banjir menjadi momok bagi Gubernur DKI Jakarta. Siapa pun dia, parameter keberhasilan gubernur memimpin ibu kota adalah mengurangi banjir. Tidak ada politikus yang berkampanye di Jakarta yang tidak menjanjikan penghapusan banjir. Kritik keras dari sebagian besar orang sering terfokus pada masalah ini.

Survei Litbang Kompas menunjukkan perbaikan penanganan banjir menjadi harapan warga Jakarta pada 2023. Dalam survei yang dilakukan pada Oktober 2022, 25,9% responden menginginkan tidak ada lagi banjir besar di kota, terutama yang menghambat aktivitas dan menyebabkan kematian.

Kelompok ekonomi bawah yang tinggal di daerah padat penduduk dan di bantaran sungai paling merasakan dampak banjir. Sebanyak 45,8% responden pada kelompok ekonomi rendah menyatakan tidak puas dengan kehidupan dan administrasi di Jakarta.

Berdasarkan data informasi kebencanaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kejadian banjir di Jakarta berfluktuasi dalam dua dekade terakhir. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2020, dimana terdapat 58 kejadian.

Namun, jumlah kejadian saja tidak cukup menggambarkan situasi banjir di Jakarta. Hal ini karena banjir tidak dapat dipisahkan dari curah hujan. Sehingga untuk membandingkan kondisi banjir perlu melihat data curah hujan.

Menurut situs Jakarta Flood Monitor, dimensi drainase kota Jakarta didesain untuk menampung debit air dengan curah hujan maksimal 120 mm per hari. Namun, dalam beberapa kasus hujan lebat yang ekstrim, hujan melebihi kapasitas tersebut.

Biasanya curah hujan tertinggi di Jakarta terjadi sekitar bulan Januari dan Februari. Karena itu, banjir sering melanda ibu kota selama bulan-bulan ini.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tercatat pada tahun 2002, saat Sutiyoso memimpin, curah hujan tertinggi yang pernah tercatat adalah 168 mm per hari. Saat itu, banjir menggenangi wilayah seluas 168 km2 yang mana meliputi 353 RW.

Masing-masing gubernur sebenarnya sudah berupaya mengatasi banjir, meski kebijakan dan programnya berbeda-beda. Pada masa Sutiyoso, pemerintah provinsi berusaha mencegah banjir dengan mengeruk sungai dan membangun pompa air.

Saat itu pemerintah juga sedang berupaya mencegah terulangnya banjir tahun 2002 lalu. Diperkirakan Rp 721 miliar telah dialokasikan untuk melanjutkan proyek Kanal Banjir Timur (BKT) yang tertunda.

Namun hujan lebat terjadi pada tahun 2007. Pada tanggal 2 Februari 2007, curah hujan mencapai 340 mm per hari. Dengan intensitas tersebut, wilayah yang tergenang semakin luas. Sebanyak 955 RW terendam, dan banjir hanya surut dalam waktu 10 hari.

Hujan deras kembali terjadi pada tahun 2013 saat Gubernur DKI Jakarta menjabat Joko Widodo (Jokowi). Namun intensitasnya tidak separah tahun 2007. Jumlah RW yang tergenang juga berkurang dan waktu surutnya menjadi 7 hari.

Upaya Jokowi untuk mengendalikannya adalah dengan melebarkan dan mengeruk sungai dan waduk. Jokowi juga memperbaiki bendungan, mendirikan posko bantuan di tempat-tempat yang terkena banjir, memindahkan pengungsi ke rumah susun, dan sebagainya.

Pada Februari 2015, Jakarta kembali dilanda banjir besar. Tingkat curah hujan tercatat mencapai rata-rata 277 mm. Dengan curah hujan tersebut, luas wilayah yang terkena banjir mencapai 281 km2 dan mencakup 702 RW.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menggantikan Jokowi menambahkan beberapa upaya pengelolaan seperti peninggian bendungan untuk menghindari banjir dan beberapa pompa untuk mendistribusikan air.

Hujan yang lebih ekstrim terjadi di Jakarta pada tahun 2020. Curah hujan saat itu mencapai 377 mm per hari, lebih tinggi dari banjir tahun 2007 yang sebesar 340 mm. Namun, area banjir lebih kecil. Banjir sedang surut.

Pada masa pemerintahan Anies Baswedan, Pemprov DKI fokus membuat drainase vertikal atau sumur rembesan. Tujuannya agar air yang terdapat di darat dapat langsung masuk ke dalam tanah.

Padahal, sumur rembesan pertama dimulai dan dibangun saat Joko Widodo menjadi gubernur pada 2012. Saat itu, total ada 19.106 sumur rembesan. Pembangunan sumur resapan semakin besar di era Anies yang berhasil membangun 29.374 sumur atau sebanyak 7.344 sumur per tahun.

Tidak mudah menghilangkan banjir di Jakarta. Selain curah hujan yang tinggi, sSecara geografis, DKI Jakarta merupakan daerah dataran rendah antara hulu sungai dan pesisir. Dataran di Jakarta diibaratkan mangkok karena berada di dataran rendah dan memiliki 13 sungai.

Jika hujan dengan intensitas tinggi terjadi di daerah hulu, maka air akan terbawa melalui sungai yang melintasi Jakarta sebelum dialirkan ke laut. Keadaan ini menyebabkan sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta meluap dan menyebabkan banjir.

Meski masih ada wilayah yang tergenang banjir, data periode 2013-2020 menunjukkan pemerintah DKI Jakarta cukup berhasil mengendalikan banjir dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari berkurangnya periode banjir. Begitu juga dengan tingkat pelepasan air yang juga cenderung menurun.

Rata-rata ketinggian banjir maksimum pada tahun 2014 adalah 240 cm. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2020 dengan rata-rata ketinggian air maksimum 145 cm. Sedangkan ketinggian air minimum cukup stabil, antara 5-15 cm.

Mengatasi banjir di Jakarta merupakan pekerjaan jangka panjang dan berkelanjutan. Apalagi, kondisi geografis Jakarta yang rawan banjir. Siapapun gubernurnya, banjir merupakan masalah yang tidak bisa dengan mudah dihilangkan dalam waktu singkat.