Bukan Orang Miskin, Siapa Konsumen Terbesar Mi Instan?

Bukan Orang Miskin, Siapa Konsumen Terbesar Mi Instan?

Mie instan adalah makanan siap saji yang melampaui hambatan sosial dan ekonomi. Tak heran jika menjadi favorit masyarakat Indonesia pada umumnya. Mulai dari mahasiswa yang tinggal di kost, pekerja kantoran, hingga perantauan. Namun, konsumen mungkin harus menghadapi kenaikan harga tahun ini.

Karena harganya yang terjangkau dan mudah dimasak, mie instan seringkali dipandang sebagai barang yang inferior. Cara memasaknya sangat mudah, mie instan sering dijadikan makanan untuk bantuan di daerah bencana.

Meskipun permintaan dapat meningkat seiring dengan penurunan pendapatan konsumen, bukan hanya orang miskin yang menikmatinya.

berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), semakin sejahtera seseorang semakin tinggi konsumsi mi instan (lihat grafik di bawah). Orang-orang di kelompok pengeluaran tertinggi makan sekitar 3,5 porsi lebih banyak daripada mereka yang berada di kelompok pengeluaran terendah.

(Membaca: Perang Rusia-Ukraina Bisa Menaikkan Harga Mie Instan dan Gorengan)

Umumnya orang menggoreng atau merebus mie instan sendiri di rumah. Namun, ada warung indomie (warmindo) dan restoran seperti Warunk Upnormal yang menyajikan makanan siap saji. Biasanya dengan tambahan seperti telur dan sayuran atau dengan rasa yang berbeda. Di beberapa daerah, warmindo juga dikenal sebagai warung bubur kacang hijau (burjo).

Warmindo menjual mie instan dengan harga kurang dari Rp 10.000, lebih terjangkau dari restoran. Pelanggan kedua tempat ini cenderung berasal dari latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda.

Di Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, misalnya, burjo menjadi santapan utama mahasiswa, khususnya Universitas Diponegoro.

Selain dimakan di dalam negeri, mie instan juga dimakan di luar negeri. Banyak orang suka membawanya ke luar negeri, dari hanya beberapa bungkus hingga satu karton—yang biasanya berisi 40 bungkus. Bahkan, banyak convenience store di luar negeri yang menjual mi instan asal Indonesia seperti Indomie yang tersedia di lebih dari 100 negara.

BPS juga menunjukkan bahwa penduduk di daerah yang lebih mampu juga lebih sering mengonsumsi mi instan dibandingkan penduduk di daerah yang kurang mampu (lihat grafik di bawah). Penduduk Lebak, Banten, misalnya, makan sekitar 2,3 kali lebih banyak dibandingkan penduduk Nias, Sumatera Utara. Pengeluaran mereka juga 29,4% lebih tinggi, menandakan bahwa mereka lebih sejahtera.

Sementara itu, penduduk di kota dan kabupaten di Papua dan Maluku umumnya lebih sedikit mengonsumsi mi instan dibandingkan penduduk di pulau lain.

Lonjakan harga mie langsung membayangi konsumen. Namun, bos PT Sukses Sejahtera Indofoodprodusen mi instan merek terpopuler itu mengatakan, harga makanan siap saji ini tidak akan naik secepat prediksi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo—yaitu tiga kali lipat.

Harga gandum yang menjadi bahan baku mi instan di pasar internasional menunjukkan tren pertumbuhan yang lambat. Pada Juli 2022, harga gandum naik 29,98% menjadi US$382,5 per ton dari tahun sebelumnya, berdasarkan data Bank Dunia. Ini adalah tingkat pertumbuhan tahunan paling lambat sejak Februari.

Ukraina yang merupakan sumber utama impor gandum Indonesia juga terus melakukan pengiriman bahan baku mi instan melalui Laut Hitam. Langkah tersebut sesuai dengan kesepakatan dengan Rusia yang dikelola oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perjanjian tersebut juga memfasilitasi pengiriman biji-bijian dan pupuk Rusia.