Darurat Pekerja Migran Korban Perdagangan Manusia untuk Kejahatan Digital

Darurat Pekerja Migran Korban Perdagangan Manusia untuk Kejahatan Digital

Kementerian Luar Negeri berhasil membebaskan 20 Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditahan di wilayah Myawaddy, Myanmar. Mereka adalah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang ditangkap dan dipaksa bekerja sebagai penipu atau kontra on line.

Sebelum terdampar di kawasan konflik di Myanmar, 20 WNI ini menjanjikan agen untuk bekerja di Bangkok, Thailand. Mereka diiming-imingi gaji hingga Rp 25 juta per bulan setelah mendapat informasi lowongan jabatan on line melalui WhatsApp.

Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak cerita duka para pekerja migran Indonesia (PMI) yang menjadi korban perdagangan manusia. Laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jJumlah kasus pengaduan TKA meningkat menjadi 1.987 pada tahun 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 60 pengaduan terkait kasus perdagangan manusia.

Pengaduan TPPO pada tahun 2022 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, namun lebih rendah dibandingkan tahun 2019 dan 2020. Namun jumlah kasus tersebut tidak mencerminkan semua kasus yang terjadi di masyarakat. Penurunan laporan TPPO bukan berarti kasus berkurang, tapi bisa jadi karena korban tidak melapor karena merasa terancam atau tidak mengetahui proses pelaporan.

Laporan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia menjelaskan bahwa TPPO dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Banyak faktor yang dapat memicu TPPO, seperti masalah ekonomi, terbatasnya kesempatan kerja, hingga rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat.

Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo. Dikatakannya, fenomena ini merupakan fenomena ketenagakerjaan, apalagi di masa pandemi banyak yang di-PHK, baik pekerja kerah biru maupun pekerja kerah putih.

Migrasi tenaga kerja berhenti dan kondisi ekonomi juga memburuk. Siapapun, termasuk mereka yang sudah kaya secara ekonomi, akan berusaha menghidupkan kembali ekonominya yang sedang merosot.

“Yang harus dilakukan adalah mencari pekerjaan. Daya tarik upah yang tinggi itulah yang menarik mereka dan kemudian menjadi korban TPPO,” kata Wahyu katadata.co.idRabu, 10 Mei 2023.

Sepanjang tahun 2022, Migrant Care, lembaga yang fokus melindungi tenaga kerja asing Indonesia menerima pengaduan dari 271 PMI yang bekerja di berbagai negara. Mayoritas terkait dengan tindak pidana perdagangan manusia.

Negara yang paling banyak menjadi tujuan pengaduan masyarakat Indonesia adalah Kamboja dengan total 195 orang. Sedangkan merujuk pada data daerah asal, warga Indonesia yang paling banyak menjadi korban berasal dari Sumut, yakni 111 orang.

PMI pengadu bekerja di berbagai sektor. Sebagian besar sebagai penipu atau kontra on line yakni 189 orang, disusul pembantu rumah tangga 54 orang, dan perjudian on line 18 orang.

Temuan Migrant Care menyatakan bahwa masyarakat Indonesia yang menjadi korban TPPO telah ditipu oleh perekrut menggunakan media sosial. Mereka awalnya dijanjikan untuk bekerja sebagai pelayanan pelanggan atau staf administrasi dengan gaji dan bonus yang besar.

Mereka juga dijanjikan akomodasi, makan, dan biaya keberangkatan gratis. Namun, sesampainya di negara tujuan, mereka dipekerjakan sebagai penipu on line dan perjudian on line.

Korban juga dituntut untuk mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Jika tidak dipenuhi, mereka akan dihukum dengan kekerasan fisik dan penjara.

Kalaupun tidak memenuhi target dan dianggap mencurigakan perusahaan, mereka akan dijual ke perusahaan lain. Mereka dilelang melalui grup Telegram termasuk foto dan paspor korban.

Kondisi di tempat kerja sangat mengancam dan tidak memberikan rasa aman. Warga negara Indonesia juga tidak dapat keluar dari perusahaan. Untuk keluar, mereka diharuskan membayar Rp 35 juta hingga Rp 150 juta.

berdasarkan data Perdagangan Manusia (TIP) Departemen Luar Negeri ASDitemukan tiga tingkat dalam upaya memerangi perdagangan manusia. Tier 1 mencakup negara-negara yang pemerintahnya memiliki kebijakan kuat untuk menghapuskan perdagangan manusia.

Level 2 adalah negara yang praktik dan kebijakannya tidak dapat dikatakan baik, tetapi telah menunjukkan upaya untuk memenuhi standar tersebut. Level 3 adalah negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya mematuhi kebijakan perlindungan tenaga kerja yang baik.

Dalam laporan tersebut, Indonesia sudah masuk tahap 2 sejak 2014. Artinya, Indonesia belum memenuhi standar minimum penghapusan perdagangan manusia, namun sudah menunjukkan upaya yang signifikan.

Menurut Wahyu, perdagangan manusia juga muncul akibat birokrasi penempatan tenaga kerja asing. Bahkan, ada pelayanan terpadu satu pintu yang bisa memberikan perlindungan kepada calon tenaga kerja asing Indonesia.

Namun di lapangan, menurut Wahyu, yang sering terjadi adalah rekrutmen dengan perantara. Orang lebih memilih jalan pintas melalui jalur informal.

“Jalur tidak resmi ini seringkali berisiko dan pada gilirannya membuat mereka menjadi korban perdagangan manusia,” kata Wahyu.

Selama ini sosialisasi terkait pencegahan perdagangan manusia sangat terbatas dan masih belum efektif. Pemerintah, menurut Wahyu, perlu bekerja sama dengan perusahaan media sosial yang sering digunakan untuk rekrutmen seperti Facebook, Ada apa, Telegramatau media sosial lainnya.

Kerja sama ini untuk menginvestigasi dan menutup akun-akun yang mengandung informasi yang mengindikasikan rekrutmen untuk kejahatan digital. Selain itu, juga memantau lalu lintas percakapan terkait kejahatan ini.

“Kemudian yang juga penting adalah perusahaan penerbangan, karena kami menduga perusahaan penerbangan tersebut menerima pemesanan charter flight untuk menerbangkannya langsung ke negara tujuan,” kata Wahyu.