Ekspor CPO ke Uni Eropa Makin Ketat, Bagaimana Nasib Indonesia?

Ekspor CPO ke Uni Eropa Makin Ketat, Bagaimana Nasib Indonesia?

Uni Eropa (UE) baru saja mengeluarkan undang-undang (UU) tentang produk bebas deforestasi. Beberapa komoditas yang menjadi sasaran antara lain minyak sawit mentah (CPO), kakao, kopi, kedelai, peternakan, kayu, karet dan lain-lain. Komoditas ini dianggap sebagai penyebab deforestasi di dunia.

Karena undang-undang ini, perusahaan yang ingin memasukkan produknya ke UE harus melakukan uji tuntas atau uji kelayakan. Due diligence dilakukan untuk memastikan produk ini tidak melalui proses yang merusak hutan.

Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit terbesar di dunia akan terkena dampak dari peraturan ini. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menilai aturan ini diskriminatif dan menghambat ekspor komoditas Indonesia.

Dalam pertemuan ASEAN dan Uni Eropa, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan kedua pihak akan pentingnya kemitraan yang berlandaskan kesetaraan. “Tidak boleh ada paksaan. Tidak boleh ada lagi pihak yang selalu memutuskan dan berasumsistandar saya lebih baik dari standar Anda‘,” ujarnya, pertengahan Desember 2022.

Lantas apakah kebijakan UE akan berdampak besar bagi industri kelapa sawit Indonesia?

Bukan Konsumen LSL Terbesar di Indonesia

Meski bukan yang terbesar, UE tetap menjadi pasar penting bagi produk LKM Indonesia. Uni Eropa merupakan konsumen terbesar keempat LSL Indonesia. Pada periode Januari-Oktober 2022, nilai ekspor 27 negara yang tergabung dalam zona ekonomi dan politik tersebut menyumbang 8,76% dari ekspor MSM Indonesia.

Spanyol merupakan pasar terbesar LSL Indonesia di kawasan UE. Negara itu mengimpor 471 ribu ton pada periode yang sama. Ini setara dengan 2,39% dari total nilai ekspor minyak sawit Indonesia. Sedangkan Italia di urutan kedua dengan 455 ribu ton dan Belanda dengan 435,5 ribu ton.

Nilai ekspor ke negara-negara Uni Eropa juga terlihat kecil jika dibandingkan dengan India dan China, dua konsumen utama LSL Indonesia. India mengimpor CPO senilai US$4,24 miliar sedangkan China mengimpor US$3,32 miliar.

Dalam undang-undang yang disahkan pada 6 Desember 2022, UE mewajibkan uji tuntas pada minyak sawit yang memasuki wilayah tersebut. Uji tuntas meliputi proses produksi kelapa sawit yang tidak merusak hutan.

Namun, peraturan tersebut tidak menentukan bagaimana due diligence akan dilakukan. Selama ini sebenarnya industri sawit sudah memiliki sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang memiliki tujuan yang sama.

Sertifikasi RSPO mencakup produk sawit yang ramah hutan, bebas dari eksploitasi pekerja, dan adil bagi petani kecil. Produk minyak sawit yang lolos sertifikasi diberi label Certified Sustainable Palm Oil (CSPO).

Jika Uni Eropa mengikuti standar tersebut, produksi minyak sawit berkelanjutan di Indonesia sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi permintaan. Sekitar 19% atau 8,6 juta ton produksi MSM Indonesia bersertifikat CSPO. Jumlah ini jauh lebih besar dari permintaan CPO Uni Eropa dari Indonesia yang mencapai 2,8 juta ton pada 2021.

Masalahnya, sertifikasi dari RSPO tidak benar-benar “clean”. Penelitian oleh Roberto Cazzolla Gatti dan Alena Valichevskaya (2020) menunjukkan, sertifikasi CSPO tidak menjamin nol deforestasi. Perusahaan bersertifikat telah berkontribusi terhadap hilangnya fauna asli Sumatera dan Kalimantan.

Uni Eropa perlu segera mengklarifikasi standar yang mereka gunakan untuk menentukan apakah MSM ramah lingkungan atau tidak. Dengan standar yang ada, produksi minyak sawit bersih Indonesia cukup untuk kebutuhan Uni Eropa.

Efek Larangan MSM

Meski UE telah melarang impor MSM, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dinilai minim. Penelitian Irlan A. Rum et al. (2022) tidak menemukan perubahan signifikan dalam Produk Domestik Bruto (PDB), lapangan kerja, atau lingkungan Indonesia.

Penelitian ini mempertimbangkan dampak larangan impor dalam dua skenario, yaitu larangan impor langsung dan larangan impor gabungan. Larangan impor langsung hanya melarang produk CPO sedangkan larangan impor gabungan juga memperhitungkan jika ada larangan produk yang menggunakan CPO Indonesia.

Jika dipaksakan, dampak larangan impor terhadap PDB di Indonesia akan sangat kecil. PDB Indonesia diperkirakan turun hanya 0,2% dalam skenario larangan impor langsung. Dalam skenario gabungan, PDB diperkirakan hanya turun sebesar 0,26%.

Meski minimal secara nasional, penurunan produk domestik bruto (PDB) daerah cukup signifikan di daerah penghasil sawit, khususnya Riau. Daerah diperkirakan akan mengalami penurunan PDB sebesar 1,63% pada skenario langsung dan 2% pada skenario gabungan.

Indonesia juga tidak perlu terlalu khawatir dengan dampak larangan impor terhadap tenaga kerja. Simulasi penelitian yang sama menunjukkan bahwa pengaruh nasional terhadap persentase penduduk bekerja hanya turun sebesar 0,12% pada skenario langsung dan turun sebesar 0,16% pada skenario gabungan.

Daerah penghasil kelapa sawit paling banyak terkena dampaknya, meski minim. Persentase penduduk bekerja di Riau dapat turun sebesar 1,68% pada skenario langsung dan turun sebesar 2,08% pada skenario gabungan.

Begitu juga dengan Sumatera Utara, meski tidak sedalam Riau. Penurunan persentase penduduk bekerja di Sumut dapat mencapai 0,57% pada skenario langsung dan 0,72% pada skenario gabungan.