Ke Mana Suara Pendukung Jokowi dan Swing Voters Berlabuh pada Pilpres 2024?

Ke Mana Suara Pendukung Jokowi dan Swing Voters Berlabuh pada Pilpres 2024?

Dari tiga capres (kandidat), elektabilitas Anies Baswedan kerap menduduki peringkat terbawah. Misalnya, dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 23-24 Mei 2023, Ganjar Pranowo memimpin dengan elektabilitas sebesar 35,9%. Kemudian disusul Prabowo Subianto dengan 32,8%. Sedangkan Anies hanya mendapat 20,1%.

Survei yang dilakukan oleh Indicators dan Charta Politika pada Mei 2023 juga menunjukkan pola yang sama. Ganjar dan Prabowo bersaing memperebutkan tempat pertama dan kedua, dengan sekitar 30%. Sedangkan Anies tetap berada di posisi ketiga dengan perolehan sekitar 20%.

Meski posisi elektabilitasnya kurang menggembirakan, Anies tetap dianggap dan dianggap sebagai lawan yang kuat. Bahkan, menurut dia, fraksi lain terus menekan partainya.

“Kalau di survei (keterpilihan) nomor tiga, apa gunanya menghadapinya? Nomor tiga,” kata Anies dalam acara Dies Natalis UKM ke-21 di Yogyakarta pada 18 Mei 2023, seperti dikutip dari Momen Tenggara.

Di penghujung tahun 2022, tingkat elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies sebenarnya hanya berbeda tipis. Posisi Anies lebih tinggi dari Prabowo. Namun memasuki tahun 2023, angka elektabilitas ketiganya mulai bergerak ke arah yang berbeda.

Tingkat elektabilitas Ganjar dan Prabowo konsisten sekitar 30% dalam 5-6 bulan terakhir, sementara jumlah Anies semakin menurun. Perolehan ini rupanya dipengaruhi oleh sosok dan citra Presiden Joko Widodo.

Di saat yang sama, Jokowi yang biasa disapa Joko Widodo kerap menunjukkan kedekatannya dengan Ganjar dan Prabowo. Misalnya, Jokowi mengajak keduanya mengikuti kunjungan kerja meninjau panen di Jawa Tengah pada pertengahan Maret 2023.

Kedekatan seperti itu tidak pernah terjadi antara presiden dan Anies setelah ia lengser sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Perilaku politik ini sejalan dengan temuan SMRC mengenai korelasi antara kepuasan terhadap kinerja Jokowi dengan elektabilitas calon presiden. Bagi Ganjar, kinerja dan elektabilitas berkorelasi positif. “Ketika kinerja Jokowi dinilai membaik, elektabilitas Ganjar cenderung meningkat,” tulis SMRC.

Bagi Prabowo, kinerja dan elektabilitas Jokowi berkorelasi negatif sejak pertengahan 2021 hingga Oktober 2022. Namun, pola tersebut berubah menjadi korelasi positif, seperti Ganjar, pada bulan-bulan berikutnya hingga sekarang.

Sementara itu, elektabilitas Anies berkorelasi negatif secara konsisten dengan tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi. Semakin baik kinerja Jokowi, semakin rendah elektabilitas Anies. Hubungan negatif ini juga semakin kuat sejak akhir tahun lalu—ketika Jokowi mulai akur dengan dua calon presiden lainnya.

Alhasil, mayoritas responden yang puas dengan kinerja Jokowi memberikan dukungan kepada Ganjar (43%). Sebaliknya, yang tidak puas dengan kinerja presiden mendukung Anies (39%). Sedangkan dukungan terhadap Prabowo tidak jauh berbeda yaitu 30% yang puas dan 35% yang tidak puas.

Tak hanya dari segi keakraban, sebanyak 44,5% responden survei SMRC menilai Ganjar paling mampu melanjutkan program Jokowi, salah satunya pembangunan ibu kota negara baru (IKN).

Di sisi lain, Anies dinilai kemungkinan besar tidak akan melanjutkan program Jokowi jika nanti dilantik sebagai presiden. Sebanyak 30,3% responden menyatakan demikian, yang merupakan persentase tertinggi dibanding calon presiden lainnya.

Dalam hal ini, Prabowo secara konsisten menempati posisi kedua. Sebanyak 25% responden berpendapat dirinya akan melanjutkan program pemerintah saat ini, namun sebanyak 19,6% responden juga berpendapat sebaliknya.

Dengan begitu, Ganjar dan Prabowo menikmati “insentif elektoral” dari hubungan dekat mereka dengan Jokowi. Persepsi publik juga menilai program pemerintah yang akan mereka jalankan nanti masih menurut presiden. Hasilnya terlihat dari elektabilitas Ganjar dan Prabowo yang terus berada di posisi teratas.

Anies, sementara itu, tidak memiliki kemewahan itu, artinya tingkat seleksinya belum naik.

Pada Oktober 2022, politikus Partai NasDem Zulfan Lindan menyebut Anies sebagai “antitesis Jokowi”. Menurutnya, menghadirkan calon presiden yang berseberangan dengan presiden bisa menghasilkan sintesa yang “lebih kuat” di masa mendatang.

Sebagaimana dilaporkan CNN IndonesiaZulfan kemudian dinonaktifkan dari kepengurusan partai karena pernyataannya itu. Kemudian, pada akhir Maret 2023, dia menyatakan keluar dari NasDem.

Direktur Eksekutif Aljabar Strategis Arifki Chaniago mengatakan Anies adalah sosok yang memiliki “kebedaan pemilihnya sendiri”, seperti dikutip dari Bebas pada Oktober 2022. Dengan demikian, dia bisa menjadi ancaman bagi koalisi partai politik lain.

Dua pernyataan di atas menunjukkan bahwa Anies sebenarnya memiliki “kolam” sendiri. Ia terpisah dan tidak bergantung pada Jokowi untuk meraih suara rakyat selama ini. Anies tidak pernah muncul bersama Jokowi, namanya pun tidak pernah disebut-sebut oleh presiden dalam banyak kesempatan.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kini juga mengkritisi program dan kebijakan Jokowi semasa pemerintahannya. Salah satunya, dalam memberikan subsidi bagi mobil listrik yang tidak sesuai target.

Sementara Ganjar dan Prabowo kini hidup dan berbagi “kolam” yang sama. Mereka berdua sering tampil bersama Jokowi dan di-mendukung oleh presiden. Keduanya dianggap sejalan dengan presiden dan akan melanjutkan program kerjanya.

Karenanya, kedua capres ini bisa dikatakan berenang di pool yang sama—pool yang setidaknya berisi orang-orang yang puas dengan kinerja Jokowi.

Namun, berbagi kolam yang sama juga tidak mudah. Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengatakan Ganjar dan Prabowo tidak bisa dikatakan saling unggul. Pasalnya, tingkat elektabilitas mereka hanya berbeda tipis yakni sekitar 3-4%.

“Selisih minimal (elektabilitas Ganjar dan Prabowo) 6%. Itu baru meyakinkan siapa yang lebih unggul,” kata Deni seperti dikutip dari YouTube SMRCTV.

Selain itu, elektabilitas calon presiden belum diperoleh sepenuhnya pemilih yang kuat atau pemilih setia. Termasuk angka kelayakan pemilih ayunan yang kurang loyal dan berpotensi mengalihkan dukungannya kepada capres lain.

Hasil survei R&D Kompas menunjukkan, elektabilitas Ganjar sekitar 25-37% pada awal 2023. Namun, hanya sekitar 14-18% yang masuk. pemilih yang kuatsedangkan sisanya pemilih ayunan. Ganjar pun tidak bisa menjamin kemenangan di pemilu 2024 jika hanya mengandalkan pemilih setia.

Para pemilih ayunan masih memiliki beberapa pilihan. Mereka bisa menjadi pemilih setia Ganjar, tapi bisa juga menjadi pendukung kuat Prabowo atau Anies. Jika melihat kelompok calon presiden, Ganjar dan Prabowo harus bersaing untuk merangkul para pemilih ini dalam satu kelompok.

Sedangkan Anies yang memiliki kolam renang sendiri berpotensi diuntungkan. Ia menawarkan sesuatu yang “berbeda”, bahkan bertentangan dengan pemerintahan saat ini. Saat pemilih bergerak dan masuk ke kelompoknya, Anies tidak harus bersaing atau berbagi suara dengan calon presiden lainnya.

Pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017, tingkat elektabilitas Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno juga kalah dari pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.

Misalnya, hasil survei Median dan SMRC menunjukkan tingkat elektabilitas Ahok-Djarot sekitar 34% pada akhir 2016 dan awal 2017. Sedangkan Anies-Sandi berada di kisaran 25-26%.

Semakin dekat pesta demokrasi, elektabilitas kedua pasangan justru meningkat. Namun berdasarkan hasil survei Poltracking, tingkat elektabilitas pasangan incumbent masih memimpin dengan 37,3%.

Hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 juga memiliki pola yang sama. Ahok-Djarot meraih 42,99% suara, disusul Anies-Sandi 39,95% serta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni 17,06%. Karena kedua pasangan tidak memperoleh lebih dari 50% suara, Pilkada dilanjutkan ke putaran kedua.

Di putaran kedua ini, Anies-Sandi mampu meraih pemilih AHY-Sylvi, sehingga elektabilitas pasangan ini tercatat lebih tinggi dari Ahok-Djarot. Salah satunya terlihat pada hasil survei yang dirilis Median. Anies-Sandi unggul dengan 49% dibanding Ahok-Djarot yang 47,1%.

Elektabilitas ini juga dibuktikan pada putaran kedua pilkada. Anies-Sandi memperoleh 57,96% dari total suara, 16% lebih tinggi dari Ahok-Djarot. Hasilnya, mereka diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Dibuat dengan Berkembang

Apalagi jika melihat pola pemilihan presiden sebelumnya, presiden terpilih seringkali menjadi antitesis dari presiden petahana. Misalnya, SBY adalah antitesis dari Megawati, seperti halnya Jokowi adalah kebalikan dari SBY.

Jika dipikir-pikir dengan pola ini, posisinya yang berseberangan dengan Jokowi justru menunjukkan bahwa Anies masih berpotensi menang di pilpres mendatang.

Barangkali inilah yang membuat Anies tidak terlalu khawatir dengan hasil survei sejumlah lembaga yang menempatkan elektabilitasnya lebih rendah dari caleg lainnya. Mungkin juga hal itu membuatnya merasa ada yang ingin menggulingkannya sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.