Orang Miskin dan Perempuan Lebih Sulit Keluar dari Krisis Ekonomi

Orang Miskin dan Perempuan Lebih Sulit Keluar dari Krisis Ekonomi

Tidak semua kelompok masyarakat merasakan efek sampingnya krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kelompok rentan dalam masyarakat, seperti rumah tangga miskin dan rumah tangga dengan anak, perempuan dan penyandang disabilitas menghadapi tantangan yang lebih sulit untuk pulih dari wabah.

Hal itu terlihat dari hasil survei UNICEF dengan United Nations Development Programme (UNDP), Australia-Indonesia Partnership for Economic Development (Prospera), dan SMERU Research Institute. Survei yang didukung Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Keuangan ini dilakukan terhadap 10.922 rumah tangga di 34 provinsi pada Februari-Maret 2022.

Hasil survey menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami pemulihan berbentuk “K” (pemulihan bentuk k). Istilah ini menunjukkan bahwa ada kelompok ekonomi yang tumbuh dan pulih lebih cepat, namun ada juga yang masih terpuruk dan pulih lebih lambat.

Seperti terlihat pada grafik di bawah ini, kelompok masyarakat dengan tingkat pengeluaran yang lebih tinggi mengalami pemulihan yang lebih cepat. Pada 20% rumah tangga teratas (kuintil 5) 19,7% mengalami peningkatan pendapatan antara November 2020 dan Februari 2022. Sedangkan pada kelompok rumah tangga terbawah (kuintil 1) hanya 14,9%.

Begitu juga persentase rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan. Pengeluaran yang lebih tinggi berarti lebih sejahtera, tidak terlalu terpengaruh oleh krisis. (Membaca: Mengapa dampak krisis ekonomi lebih buruk di Pulau Jawa?)

Survei tersebut juga menyebutkan bahwa rumah tangga yang mengalami pemulihan lebih lambat adalah rumah tangga yang salah satu anggotanya menyandang disabilitas, rumah tangga yang memiliki anak, rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan, rumah tangga yang dikepalai oleh laki-laki atau perempuan dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi, lebih rendah, dan rumah tangga. orang tua (orang tua).

(Membaca: Rapuhnya Nasib Lansia Indonesia di Era Pagebluk)

Persentase rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan pada kelompok rentan ini lebih tinggi di antara kelompok yang mengalami penurunan pendapatan. Begitu pula di antara mereka yang mengalami peningkatan pendapatan, proporsi kelompok ini lebih rendah. (Membaca: Apakah Upah Minimum Cukup untuk Menghidupi Rumah Tangga?)

“Survei ini membuktikan kepedulian kami terhadap rumah tangga rentan di Indonesia yang masih rentan. Mereka membutuhkan dukungan terutama dalam menghadapi kenaikan harga pangan,” ujar Sujala Pant, Deputy Resident UNDP di Indonesia, saat diskusi dan peluncuran hasil survei, pada 15 Desember 2022.

Hasil survei juga menemukan bahwa kelompok rentan ini cenderung menggunakan strategi koping negatif dalam menghadapi tekanan ekonomi yang diakibatkannya. Wabah covid-19. Strategi tersebut antara lain meningkatkan hutang, seperti meminjam uang dan menggadaikan atau menjual aset. Selain melakukan penghematan besar-besaran, seperti mengurangi pengeluaran untuk makanan.

Rumah tangga yang cenderung menggunakan mekanisme koping negatif sebagian besar adalah rumah tangga yang memiliki anak dan berpenghasilan rendah.

Sedangkan positive coping mechanism merupakan langkah positif untuk mengatasi guncangan yang merugikan penghidupan mereka. Misalnya, mendirikan bisnis baru atau mengambil pekerjaan sampingan.

Kerawanan Pangan Tinggi pada Kelompok Rentan

Dampak penurunan pendapatan memaksa rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran mereka untuk makanan. Situasi ini meningkatkan kerawanan pangan, terutama di kalangan rumah tangga termiskin.

Keadaan ini dikhawatirkan dapat memperburuk kesehatan, termasuk meningkatkan penurunan berat badan anak (sia-sia) dan dataran rendah (kerdil).

Prevalensi kerawanan pangan lebih tinggi pada rumah tangga yang dikepalai perempuan, dengan anggota keluarga lanjut usia dan anak-anak.

Ketidaksetaraan jenis kelamin

Pandemi Covid-19 juga menyebabkan kemunduran bagi perempuan di pasar tenaga kerja. Dengan kata lain, perempuan telah dirugikan secara tidak proporsional di pasar tenaga kerja sebagai akibat dari pandemi.

Persentase pekerja perempuan yang menyatakan berhenti pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2019 (sebelum wabah) empat kali lebih tinggi dibandingkan proporsi pekerja laki-laki.

Alasan responden laki-laki tidak melanjutkan bekerja pada tahun 2022 sebagian besar karena alasan terkait Covid-19. Sedangkan mayoritas perempuan yang tidak akan bekerja lagi di tahun 2022 dilaporkan karena memikul beban pekerjaan rumah tangga.

Salah satunya adalah penerapan sekolah daring di masa pandemi. Para ibu membantu anaknya mengerjakan tugas sekolah yang merupakan pekerjaan rumah tambahan.

Teramati bahwa 65% anak bergantung pada ibu mereka untuk membantu selama sekolah online, dibandingkan dengan 24,5% anak yang bergantung pada ayah. Kemudian sebanyak 69,9% keluarga juga menyerahkan tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga kepada perempuan.

Memerangi Ketimpangan Pemulihan

Hal itu diungkapkan Athia Yumna, Deputi Direktur Riset dan Penjangkauan Lembaga Penelitian SMERU pemerintah perlu mengatasi ketimpangan ekonomi dengan meningkatkan program bantuan sosial.

“Program perlindungan sosial perlu diperluas dan ditingkatkan untuk menjangkau lebih banyak orang,” ujarnya.

Sementara itu, Maniza Zaman, perwakilan UNICEF Indonesia, menambahkan pentingnya perbaikan sistem perlindungan sosial. Selain mengatasi krisis belajar dan memastikan pendidikan anak difabel tidak tertinggal saat negara pulih dari Covid-19 dan menghadapi dampak krisis global.

“Ini adalah kunci bagi Indonesia untuk menjadi salah satu dari 10 ekonomi terbesar dunia pada tahun 2030, mencapai status berpenghasilan tinggi, dan mengurangi kemiskinan hingga mendekati nol.”