Orang Tua Perokok Lebih Berisiko Sebabkan Anak Stunting

Logo

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stunting sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Ini dapat disebabkan oleh malnutrisi kronis dan infeksi berulang. Kondisi ini berdampak pada tinggi badan anak yang lebih rendah dari standar usianya. Selain itu, kemampuan berpikir menjadi kurang optimal.

Tidak hanya dapat menyebabkan gagal tumbuh dan menghambat perkembangan kognitif dan motorik, stunting juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi di kemudian hari. Kementerian Kesehatan memperkirakan kerugian tersebut mencapai 2-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo marah karena APBN tidak digunakan secara optimal untuk mengurangi masalah stunting. Ia menyebutkan satu daerah memiliki alokasi Rp 10 miliar untuk masalah stunting. Tetapi kebanyakan digunakan untuk pertemuan, perencanaan, perjalanan bisnis, dll.

“Sebenarnya bukan Rp 2 miliar yang beli telur. Kapan kebuntuan akan diselesaikan pada tingkat ini? kata Jokowi saat memimpin Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Dalam Negeri Tahun 2023, di Jakarta, Rabu 14 Juni 2023.

Menurut dia, alokasi terbesar seharusnya digunakan untuk membeli telur, susu, ikan, daging, atau sayuran. “Ini perlu diubah,” katanya.

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, angka prevalensi anak balita di Tanah Air akan mencapai 21,6% pada tahun 2022. Meski mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut masih lebih tinggi. dari Toleransi WHO sebesar 20%.

Dari 34 daerah, terdapat 11 daerah yang memiliki angka prevalensi di bawah standar. Nusa Tenggara Timur menempati urutan teratas dengan prevalensi kerdil paling tinggi Sedangkan yang terendah adalah Bali. Bali juga merupakan satu-satunya daerah yang memiliki angka prevalensi kerdilberada di bawah 10%.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 untuk mengurangi 14% masalah stunting sulit dicapai. Sebab, rata-rata penurunannya hanya 2,1% pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.

“Diperlukan penurunan prevalensi sebesar 3,8% per tahun untuk mencapai target tersebut,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin, 5 Juni 2023.

Tidak hanya karena kekurangan gizi, anak kecil yang orang tuanya merokok juga berpotensi menyebabkan anaknya jatuh sakit. Hal ini juga menjadi kendala untuk mengurangi masalah stunting di negeri ini. Beberapa studi menunjukkan aanak-anak yang tinggal dalam keluarga dengan perokok berisiko untuk berkembang kerdil lebih tinggi daripada anak-anak dalam keluarga yang tidak merokok.

Selain mengganggu penyerapan nutrisi, ayah yang merokok berpotensi meningkatkan risiko penyakit genetik. Tidak hanya itu, orang tua perokok lebih cenderung menghabiskan uang mereka untuk rokok daripada protein hewani seperti telur dan ikan. Padahal protein merupakan salah satu asupan gizi yang sangat penting untuk mencegah anak stunting.

Global Adult Tobacco Survey menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa di Indonesia. Dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.

Beberapa penelitian menemukan bahwa stunting lebih sering terjadi pada anak-anak yang orang tuanya merokok. Melakukan penelitian Semba dkk. ditemukan pada keluarga miskin perkotaan di Indonesia ayah merokok atau keberadaan ayah yang merokok meningkatkan risiko stunting.

Sebagian besar pendapatan rumah tangga juga dihabiskan untuk membeli rokok untuk keperluan sang ayah. Akibatnya, alokasi pengeluaran untuk makanan juga lebih rendah. Selain itu, biaya belanja rokok di rumah jauh lebih besar dibandingkan belanja makanan sumber protein hewani seperti ikan dan telur.

Hasil penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menyebutkan bahwa stunting pada anak dari keluarga perokok lebih tinggi 5,5% dibandingkan anak dari keluarga bukan perokok.

Studi ini mengungkapkan bahwa anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi dibandingkan mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis. Hal ini menunjukkan bahwa perokok aktif cenderung memiliki anak pendek atau stunting.

Kebiasaan ayah merokok di dalam ruangan menghasilkan asap rokok yang mengganggu penyerapan nutrisi pada anak. Hal ini pada akhirnya akan mengganggu perkembangannya. Jika ibu hamil terpapar asap rokok, dampaknya juga akan terjadi pada janin yang dikandungnya.

Fitra Duhita, dkk. dalam artikel “Pengaruh Terhadap Kesehatan Anak Pada Masa Embrio, Janin, Bayi dan Usia Sekolah Dengan Ayah Merokok” menjelaskan bahwa paparan asap rokok pada masa kanak-kanak pada masa embrio dapat mengakibatkan aborsi spontan.

Kemudian pada masa janin mengakibatkan kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah, sedangkan pada masa bayi terjadi peningkatan risiko asma dan keterlambatan perkembangan mental. Kondisi ini disebabkan oleh komponen kimia yang terkandung dalam asap rokok yang berbahaya.

Karbon monoksida (CO) hasil pembakaran asap rokok mengakibatkan berkurangnya oksigen yang beredar melalui peredaran darah ke seluruh tubuh. Karena hemoglobin yang seharusnya hanya mengikat oksigen, berubah mengikat CO menjadi bentuk karboksihemoglobin (COHb).

Ini menyebabkan hal itu terjadi fetotoksiky yang dimanifestasikan dalam bentuk hipoksia janin. Kondisi ini berkaitan dengan terjadinya gangguan pertumbuhan janin. Oleh karena itu, bayi dengan gangguan pertumbuhan berisiko memiliki berat badan lahir rendah.

Namun bukan hanya karena asap rokok, penelitian yang dilakukan para peneliti di University of Bradford, Inggris menemukan adanya risiko perubahan genetik pada anak dari ayah yang merokok.

Pria yang merokok akan mengalami kerusakan gen pada DNA-nya. Gen cacat yang diturunkan dari ayah perokok ke anak akan meningkatkan risiko anak terkena berbagai penyakit seperti kanker, terutama leukemia.

Para peneliti mengungkapkan bahwa sel sperma membutuhkan waktu tiga bulan untuk berproduksi. Jadi, jika seorang pria menginginkan anak yang sehat, ia harus berhenti merokok setidaknya 12 minggu sebelum merencanakan kehamilan.

“Hal ini untuk menghindari risiko cacat genetik pada anak,” kata Dr Diana Anderson, profesor Ilmu Biomedis di University of Bradford, Inggris, seperti dikutip surat harian. “Ayah yang merokok saat hamil dapat menyebabkan perubahan genetik pada anaknya.”