Perang Rusia-Ukraina Bisa Mengerek Harga Mi Instan dan Gorengan

Perang Rusia-Ukraina Bisa Mengerek Harga Mi Instan dan Gorengan

Indonesia jauh dari pusat perang antara Rusia dan Ukraina. Namun, jika berkelanjutan, dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat negeri ini. Salah satunya karena kenaikan harga pangan khususnya produk berbahan dasar gandum seperti mi instan dan gorengan.

Gandum merupakan bahan baku pembuatan tepung. Selama ini Indonesia banyak mengimpor produk yang berasal dari biji-bijian ini. berdasarkan data Pusat Perdagangan Internasional (ITC), Indonesia merupakan importir gandum dan meslin (tepung terigu) terbesar di dunia.

Pada 2020, Indonesia mengimpor 10,3 juta ton gandum dan mesin senilai US$2,6 miliar. Secara nilai, posisi Indonesia berada di bawah Mesir yang mencapai US$2,7 miliar. Padahal jumlah yang diimpor Mesir lebih rendah yakni 9,6 juta ton.

Jumlah gandum yang diimpor memenuhi hampir seluruh kebutuhan gandum Indonesia. Menurut laporan Kementerian Pertanian, konsumsi gandum pada tahun 2020 sebesar 10,42 juta ton. Sebagian besar atau 81,3% diolah untuk makanan.

Situasi ini membuat Indonesia rentan. Jika perang tidak segera berakhir, harga di pasar global bisa meroket. Dalam sebulan terakhir saja, harga gandum naik sekitar 24%. Masalahnya, kedua negara yang bertikai itu adalah pengekspor utama gandum di pasar dunia.

Masih berdasarkan data ITC, Rusia mengekspor 37,3 juta ton senilai US$7,9 miliar pada 2020. Dengan volume ekspor tersebut, Rusia menjadi negara pengekspor gandum terbesar. Sedangkan Ukraina merupakan pengekspor terbesar kelima sebesar 18,1 juta ton atau US$3,6 miliar.

Ini bukan hanya tentang harga. Perang juga bisa menghambat pasokan gabah di tanah air. Pasalnya, Indonesia bergantung pada pasokan terigu dan tepung mesin dari Ukraina.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Ukraina merupakan pemasok terbesar kedua bagi Indonesia, setelah Australia. Pada 2021, Indonesia akan mengimpor 2,83 juta ton senilai US$843,6 juta dari negara yang dipimpin Volodymyr Zelensky itu.

Dampak terhadap Harga Mie Instan

Ada berbagai jenis makanan yang berasal dari olahan gandum di Indonesia. Selain mie instan, gandum juga digunakan untuk membuat pasta, kue, sereal, manisan, dan biskuit. Pedagang kaki lima juga menggunakan tepung, seperti bakwan, odading, atau martabak.

Meski jenisnya banyak, tepung terigu di Indonesia paling banyak digunakan untuk membuat mi instan. Berdasarkan laporan Australian Export Grains Innovation Center (AEGIC), sebanyak 55% tepung terigu di Indonesia digunakan untuk industri mi instan.

Sedangkan untuk membuat aneka produk bakery sebesar 28%. Sisanya 17% digunakan untuk membuat aneka kue, manisan, dan biskuit.

Mie instan merupakan salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari laporan World Instant Noodle Association yang menunjukkan bahwa konsumsi mi instan Indonesia menempati peringkat kedua dunia pada tahun 2020. Tercatat konsumsi mi instan dalam negeri mencapai 12,64 miliar porsi, di bawah China yang mencapai 46,35 miliar porsi.

Ketergantungan yang tinggi terhadap impor membuat Indonesia rentan terhadap dampak perang. Menurut Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) Bhima Yudhistira, kelangkaan gandum dapat meningkatkan harga produk gandum termasuk mie instan. Masalahnya, menurut dia, tidak semua konsumen siap dengan kenaikan harga, terutama kalangan menengah ke bawah.

“Kalau ada kenaikan harga (mi instan) Rp 500-Rp 1.000, tentu akan mempengaruhi pelaku usaha. Jadi kita harus memikirkan efeknya (kenaikan harga),” kata Bhima katadata.co.idSelasa 1 Maret 2022.

Bhima menyarankan beberapa langkah antisipatif jika pasokan gandum dalam negeri terganggu. Dari sisi produsen, hal ini dapat menekan margin keuntungan, menekan biaya produksi dan memperkecil ukuran mi instan.

Sementara itu, pemerintah, kata Bhima, membantu mempermudah produsen mie mendapatkan bahan baku gandum di luar Ukraina. “Amerika Serikat dan Australia bisa menjadi alternatif,” ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan, kenaikan harga mie instan tergantung intensitas perang Rusia-Ukraina.

Jika invasi Rusia hanya berlangsung sekitar 1-2 minggu, potensi kenaikan harga mi instan akan semakin kecil. Ini karena produsen kelas menengah ke atas umumnya memiliki stok bahan baku yang cukup hingga dua bulan.

Namun, Adhi optimis pelaku industri telah mencari berbagai alternatif untuk mengantisipasi kenaikan harga gandum. Apalagi, bukan hanya Indonesia yang akan mengalami gangguan pasokan gandum akibat konflik Rusia-Ukraina.

“Oleh karena itu, kita perlu memikirkan alternatif, bagaimana kita mengganti gandum dengan bahan baku lain, melakukan inovasi produk, dan sebagainya,” kata Adhi. katadata.co.id, Selasa 1 Maret 2022.

Adhi berharap pemerintah juga ikut mengantisipasi kenaikan harga gandum akibat konflik Rusia-Ukraina. Misalnya dengan memangkas biaya yang terdapat dalam pencarian persediaan gandum.