Tren Konflik Agraria yang Makin Meningkat di Era Jokowi

Logo Katadata

Sepanjang September hingga Oktober 2023, berbagai konflik agraria meletus. Dimulai dari konflik di Rempang, Batam, Kepulauan Riau yang pecah pada 7 September lalu. Saat itu, warga Pulau Rempang menolak direlokasi ke Pulau Galang atas nama pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.

Menyusul pada 16 September, warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah melakukan aksi penuntutan hak plasma 20% dari perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (Best Group Agro International) yang dijanjikan sejak 2006. Warga juga menuntut pengembalian lahan. 

Aksi penuntutan ini mencapai puncak pada Sabtu, 7 Oktober 2023 ketika terjadi bentrokan antara warga Seruyan dengan aparat kepolisian yang melakukan pengamanan di lahan. Seorang warga tewas sedangkan dua lainnya luka berat akibat peluru tajam.

Dalam Konferensi Tenurial 2023 yang diadakan pada 16-17 Oktober 2023 disebutkan konflik agraria semakin intens terjadi selama hampir satu dekade pemerintahan Jokowi. “Di tengah janji reforma agraria, penyelesaian konflik agraria, kedaulatan pangan dan pemulihan hak-hak dasar dari kelompok marginal, kami melihat konflik agraria justru semakin masif terjadi di banyak tempat,” kata Dewi Kartika Ketua Steering Committee Konferensi Tenurial 2023, Senin (16/10).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, pengaduan terkait dengan konflik agraria meningkat selama tiga tahun terakhir. Sejak tahun 2020 hingga paruh pertama 2023, Komnas HAM menerima setidaknya 2.427 pengaduan terkait dengan isu agraria. 

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Abetnego Tarigan mengakui tingginya permasalahan agraria yang diadukan oleh masyarakat, baik yang disampaikan melalui KSP maupun ke Presiden Jokowi secara langsung. 

Menurut catatan KSP, hingga bulan Mei 2023, Kantor Staf Presiden telah menerima total 1.385 kasus/aduan permasalahan agraria, dengan rincian 716 aduan berkaitan dengan Kementerian ATR/BPN, 359 aduan berkaitan dengan Kementerian BUMN, dan 244 aduan berkaitan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Sebab itu, menurut Abetnego, diperlukan sinkronisasi data untuk menyelesaikan persoalan agraria itu dengan cepat. “Percepatan penanganan yang telah dilakukan masing-masing kementerian/ lembaga perlu disegerakan serta potensi penanganan lain seperti sistem satu data agar ke depannya aduan masyarakat di lintas kementerian mendapat penanganan yang tepat dan terintegrasi,” kata dia. 

Sementara itu, menurut data yang dihimpun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 3.182 letusan konflik agraria selama hampir dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika dibedah per sektor selama sembilan tahun, sejak 2014-2022, diperoleh data letupan konflik yang selalu didominasi oleh sektor perkebunan dan infrastruktur. 

Di sektor infrastruktur, KPA mencatat ada tren kenaikan letusan konflik pada proyek yang terkait dengan Proyek Strategis Nasional. Pada 2020, KPA mencatat 17 dari 30 konflik terkait dengan PSN atau sekitar 56,6%. Proporsinya meningkat pada 2021, sebanyak 38 dari 52 letusan konflik atau sebesar 73% terkait dengan PSN. Sedangkan pada 2022, terdapat 18 dari 32 letusan konflik yang terkait dengan PSN. 

Secara kumulatif sejak tahun 2015 PSN digagas hingga tahun 2022, KPA mencatat setidaknya telah terjadi 204 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek PSN. Dari segi jumlah letusan konflik, Pulau Jawa tercatat terbanyak dengan 66 letusan konflik. Dari segi luasan lahan konflik, Pulau Sumatera tercatat paling luas dengan cakupan 238,6 ribu hektar.

Dalam wawancara kepada Katadata, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto mengatakan, konflik agraria cenderung terjadi karena adanya tumpang tindih kepemilikan lahan dan tangan-tangan mafia tanah. Dia menyebutkan mafia-mafia tanah tersebut adalah petugas BPN sendiri, kepala desa, camat, pejabat pembuat akta tanah, jaksa, hakim, hingga anggota kepolisian. 

Modus yang digunakan antara lain mengeluarkan salinan girik dan menyatakan tanah tersebut tidak bersengketa, tanpa sepengetahuan masyarakat yang merupakan pemilik atau ahli waris dari tanah itu. Modus lainnya adalah mobilisasi petani atau masyarakat dari luar daerah untuk menduduki lahan-lahan HGU perkebunan, baik yang masih aktif maupun yang sudah habis masa izinnya. 

Hadi menjelaskan, dua modus tersebut akan menguntungkan para mafia tanah, namun dapat berujung pada konflik. “Di Kalimantan Tengah, ada 32 ribu bidang tanah yang diambil mafia tanah dan menyebabkan konflik sosial. Kasusnya sudah P21 (berkas penyidikan lengkap) dan ini didukung oleh Kapolda dan Kajati,” kata dia. 

Dia juga tak memungkiri ada konflik yang disebabkan kelalaian perusahaan untuk membayar ganti rugi atas penyerobotan lahan. Salah satunya konflik antara Suku Anak Dalam dan PT Berkah Sawit Utama. “Kami selesaikan dengan mengembalikan tanah seluas 750 hektare untuk digunakan oleh masyarakat SAD, sehingga lahan itu bisa digunakan lagi oleh masyarakat dan tidak ada masalah lagi sampai saat ini,” kata dia. 

Meskipun menurut catatan KPA letusan konflik tak sebanyak tahun sebelumnya, tetapi jumlah korban—terutama korban kriminalisasi—terus meningkat sepanjang tiga tahun terakhir. Pada 2022, misalnya, KPA mencatat ada 497 kasus kriminalisasi terkait dengan konflik agraria, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya sejumlah 150 korban. 

Korban tewas juga terus berjatuhan setiap tahun. Pada 2022, KPA mencatat ada tiga korban tewas dan 41 korban terluka dalam letusan konflik. Apabila ditotal, jumlah korban pada 2022 sebesar 541 orang. 

Dewi Kartika yang juga merupakan Sekretaris Jenderal KPA mengatakan, pendekatan business as usual yang digunakan pemerintah membuat penanganan konflik berjalan lamban sehingga tak efektif mencegah kekerasan muncul. Dia memberi contoh tragedi Seruyan yang dapat dihindari jika sengketa yang berlangsung sejak 2006 dapat diselesaikan segera. 

Dalam peristiwa itu seorang warga tewas, dua lainnya luka berat akibat tertembak dan dugaan kriminalisasi serta penganiayaan terhadap 20 warga yang ditangkap polisi. “Penanganan konflik tak berubah dengan menggunakan pendekatan represif dan intimidatif dengan cara menurunkan barisan aparat keamanan,” kata Dewi. 

Padahal, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta TNI-Polri menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berupaya menyelesaikan konflik agraria sejak dua tahun lalu. Saat itu, dia meminta TNI-Polri menggunakan pendekatan yang lebih tepat kepada masyarakat yang terlibat konflik.

Sekretaris Serikat Pekerja Kelapa Sawit Indonesia (Sepasi) Kalimantan Tengah Dianto Arifin mengatakan, dalam setiap konflik agraria antara masyarakat setempat dengan perusahaan, buruh sawit kerap menjadi korban. Terutama jika pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah adalah pendekatan represif. 

Sebab, kata dia, buruh dan pekerja di kebun yang berhadap-hadapan langsung dengan kedua kubu. “Posisi buruh sawit terhimpit dan kerap menjadi korban kekerasan juga, baik oleh masyarakat maupun aparat,” kata dia, Selasa (18/10).

Menurut Dianto, salah satu pemicu konflik adalah ketimpangan akses pekerjaan. “Dulunya mereka dijanjikan akan ada lapangan pekerjaan, akan menyerap tenaga kerja dari masyarakat setempat, yang ternyata masyarakat setempat hanya jadi penonton. Tentu ini menjadi salah satu pencetus konflik,” kata dia.