Angga Dwiartama : Gerakan Pangan Lokal untuk Kedaulatan Pangan

Logo Katadata

Topik ketahanan pangan menjadi pembicaraan menarik masyarakat selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2024. Hal yang paling banyak diperdebatkan adalah masalah food estateĀ atau lumbung pangan. Sebuah kebijakan untuk menyiapkan lahanĀ superluas untuk memproduksi bahan pangan pokok. Di sini persoalan krusialnya adalah bagaimana menyiapkan lahan superluas itu, tidakkah itu akan mengganggu lingkungan?

Isu pangan memang menjadi soal serius untuk negara dengan jumlah penduduk banyak dan terus bertambah seperti Indonesia. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan ketersediaan dan ketahanan pangan menjadi tantangan. Sektor pertanian nasional dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Tantangan ini semakin meningkat di tengah ancaman perubahan iklim.

Achmad Suryana dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, menyebut bahwa ketahanan pangan merupakan isu multidimensi dan sangat kompleks, karena meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Aspek politik seringkali menjadi faktor dominan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan pangan.

Suryana, sebagaimana dikutip dari jurnalnya di Forum Penelitian Agro Ekonomi Oktober 2014, “Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025: Tantangan dan Penanganannya”, menyebut bahwa pada periode 2015-2025 negara-negara berkembang termasuk Indonesia menghadapi keadaan yang semakin sulit untuk mencapai, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas keberlanjutan ketahanan pangan. Tantangan muncul dari dua sisi sekaligus, yaitu dari sisi supply (penawaran, pasokan) dan sisi demand (permintaan, kebutuhan) yang berperilaku sangat dinamis.

Bertahun-tahun Indonesia mengenal kredo swasembada pangan. Pengertiannya, negara bisa memproduksi cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya sendiri tanpa perlu mengimpor.

Faktanya, Indonesia hingga saat ini belum bisa mencapai swasembada pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), untuk pemenuhan kebutuhan makanan pokok masyarakat Indonesia saja, yaitu beras, pemerintah masih tetap perlu impor sebanyak 1,79 juta ton sepanjang Januari-September 2023.

Suplai atau pasokan juga bermasalah dengan berkurangnya jumlah lahan baku sawah nasional. Menurut BPS, luasan sawah kian menyusut, dari 8,07 juta hektare pada 2008 menjadi 7,46 juta hektare pada 2019. Bahkan, pada 2023 luas panen padi kebanyakan hanya terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera.

Oleh karena itu, dalam pemilihan presiden kali ini mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan menjadi salah satu isu dan agenda prioritas. Visi para calon presiden soal kebijakan pangan mendapat penekanan.

Persoalan ketahanan pangan di Indonesia pada dasarnya ada dua. Pertama, masalah urbanisasi yang menyebabkan kebutuhan pangan terpusat di kota-kota di mana di sana tidak ada alat produksi (lahan). Kedua, lahan pertanian di desa terus berkurang karena alih fungsi lahan. Akibatnya, kebutuhan dan pemenuhan tidak seimbang.

Aspek kebutuhan pangan ada tiga. Pertama, soal produksi, yakni seberapa besar kita mampu memproduksi (bahan) pangan. Ini tantangannya pada jumlah lahan yang terus menyempit dan varietas yang dikembangkan.

Kedua, aksesibilitas rakyat terhadap pangan. Di kota semakin banyak lapisan masyarakat yang tidak bisa mengakses pangan karena miskin. Ketiga adalah soal utilitas pangan di mana kebutuhan dan ketersediaan tidak “nyambung”. Misalnya, masyarakat membutuhkan beras varietas kelas tertentu tetapi yang tersedia jenis lain.

Food Estate Bukan Jawaban

Lalu, perlukah pemerintah mencetak lahan luas untuk produksi pangan? Lumbung pangan atau food estate bukan solusi tepat untuk menjawab soal ketahanan pangan. Food estate membutuhkan lahan yang besar dan masif, ini kemungkinan akan melahirkan gesekan peruntukan lahan.

Kebanyakan lahan yang luas adanya di Kalimantan dan Papua, umumnya lahan tersebut adalah lahan gambut. Prosesnya, lahan gambut dikeringkan, ini bisa mengakibatkan lahan gampang terbakar. Pengalihan lahan juga harus melihat pemetaan lahan yang ada, agar tidak terjadi lahan pangan mengambil lahan untuk hutan atau wilayah konservasi.

Persoalan lain yang dihadapi tanaman padi adalah pemanasan global. Padi ideal dicocoktanamkan di suhu 30 derajat Celcius. Dengan berkurangnya hutan karena peralihan peruntukan ikut mendorong pemanasan suhu global, akibatnya produktivitas padi umumnya turun.

Persoalan sektor cocok tanam padi juga terkait dengan kondisi kesehatan tanah. Banyak produktivitas padi yang digenjot dengan pupuk. Akan tetapi, strategi ini ada batasnya. Penggunaan pupuk berlebih justru menyebabkan kerusakan tanah. Artinya, ini menimbulkan pekerjaan rumah lagi.

Terlepas dari upaya-upaya tersebut, hanya sedikit pakar yang mampu mengaitkan kedaulatan pangan dengan permasalahan yang terjadi di sisi lain rantai pasok, khususnya permasalahan masyarakat miskin perkotaan. Kelompok terakhir ini adalah konsumen yang tidak memiliki akses terhadap lahan subur dan memiliki keterampilan, sumber daya, dan sarana yang terbatas untuk memproduksi makanan mereka sendiri.

Gerakan Pangan Lokal, Bukan Lumbung Pangan

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyatakan dalam Nawa Cita mengenai pentingnya meraih ketahanan pangan bagi masyarakat Indonesia. Ini dituangkan pemerintah Indonesia sebagai amanah ketahanan, kedaulatan, dan kemandirian pangan dalam Undang-Undang Nomor tahun 2012 tentang Pangan.