Biang Kerok Produksi dan Lonjakan Harga Beras

Logo Katadata

Harga beras melesat sejak akhir tahun lalu dan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Februari kemarin.El Nino yang memicu kemarau panjang dan kenaikan harga pupuk membuat produksi padi menyusut, sementara konsumsi beras tetap tinggi.Berbagai upaya pemerintah dari serbuan pasar murah hingga impor beras belum efektif meredam lonjakan harga beras.

Setidaknya sembilan hari Presiden Joko Widodo puasa bicara ke publik mengenai beras. Komoditas pangan ini sedang disorot masyarakat lantaran harganya terus merangkak naik sejak akhir tahun lalu. Kamis pekan kemarin, Jokowi baru membahasnya lagi saat mendatangi Pasar Kawat.

Di area jual-beli tradisional Tanjung Balai, Sumatera Utara itu, dia menyatakan harga beras mulai turun. Justru komoditas lain seperti cabai yang naik. Jokowi menunjuk penurunan itu tercermin pada beras yang disalurkan Perum Bulog.

“Harganya Rp 57 ribu untuk lima kilogram. Beras lokal medium juga masih di Rp 12.800. Dibandingkan di provinsi lain, masih lebih baik,” kata Jokowi. “Kalau harga bisa kita kendalikan seperti ini akan baik untuk masyarakat.”

Ini kali pertama mantan Wali Kota Solo itu membicarakannya sejak 4 Maret lalu di Lanud Halim Perdanakusuma. Ketika hendak bertolak ke Australia, dia kurang berselera untuk membahas kenaikan harga beras. “Jangan terus ditanyakan ke saya. Cek ke lapangan sendiri, berbondong-bondong ke sana,” ujarnya kepada para juru warta.

Pekan sebelumnya, Jokowi memang diberondong pertanyaan serupa. Menurut dia ketika itu, harga beras di sejumlah perkulakan seperti Pasar Induk Cipinang Jakarta dan Pasar Johar Karawang kian melandai. “Jangan menginformasikan harga naik seperti itu,” katanya.

Beras penyumbang inflasi Oktober (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa.)

Namun pada hari itu, data panel komoditas di Badan Pangan Nasional memperlihatkan rata-rata harga beras premium secara nasional di pedagang eceran Rp 16.490 per kilogram, naik 0,7 % dari pekan sebelumnya. Sementara harga beras medium naik 0,55 % menjadi Rp 14.380 per kilogram.

Angka tersebut melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023. Di sana tertera bahwa HET beras medium Rp 10.900 – 11.800 per kilogram dan beras premium Rp 13.900 – 14.800 per kilogram.

Kenaikan harga beras di Tanah Air mulai terasa sejak September tahun lalu untuk jenis medium dan premium. Masing- masing harga kedua varian ini bertahan di sekitar Rp 13.200 dan Rp 14.900 per kilogram selama kuartal keempat 2023. Namun memasuki Januari 2024, harga beras kembali melejit seiring permintaan yang meningkat, seperti untuk program bantuan sosial pemerintah di masa-masa kampanye pemilu.

Bahkan pada Februari kemarin, Badan Pusat Statistik mencatat rata-rata harga beras di tingkat penggilingan, grosir, dan ecaran mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, rata-rata harga beras di tingkat eceran pada bulan lalu Rp 15.157 per kilogram, naik 5,28 % secara bulanan atau melonjak 19,28 % secara tahunan.

Dilihat dari tingkat grosir, kenaikannya 5,96 % secara bulanan, melesat 20,08 % secara tahunan menjadi Rp 14.398 per kilogram. “Harga beras yang disajikan BPS merupakan harga rata-rata yang mencakup berbagai jenis kualitas beras dan berbagai wilayah di Indonesia,” kata Habibullah pada Jumat, 1 Maret 2024.

Bertumpuk Masalah Menggelayuti Produksi dan Harga Beras

Sebagai petani yang menggeluti sawahnya sendiri, Abdul senang harga gabah di daerahnya, Banyumas, cukup bagus, sudah menyentuh Rp 900 ribu per kuintal. Bila masuk penggilingan, padi kering tersebut akan menghasilkan beras sekitar 57 kilogram. Artinya, beras di tingkat petani berkisar Rp 15.700 per kilogram.

Produksi padi dari beberapa petak sawah yang dia garap sekitar satu ton per panen. Dengan harga gabah saat ini, pendapatannya bisa tembus Rp 9 juta. Walau terlihat besar, Abdul menyimpan kegundahan lantaran biaya produksi cukup tinggi terutama dari kenaikan harga pupuk urea dan NPK.

Sebenarnya Abdul mendapat alokasi pupuk subsidi yang dibeli di koperasi. Namun sudah dua tahun ini jatah pupuk subsidi makin menyusut, hanya 60 kilogram. Jumlah ini tak mencukupi sawahanya yang membutuhkan lebih dari 100 kilogram. “Masih bisa membeli pupuk non-subsidi di luar koperasi, tapi harganya sangat mahal,” ujarnya.

Di luar kopersi, harga urea dan NPK bisa dua kali lipat dari yang subsidi Rp 2.250 dan Rp 2.300 per kilogram. Bila pemberian pupuk kurang akan berimbas pada hasil panen yang tidak maksimal sehingga produksi padi rendah. Ini simalakama bagi banyak petani.

Tingginya harga pupuk non-subsidi juga terjadi di tingkat global. Data Bank Dunia menyebutkan, rata-rata harga pupuk urea di pasar global pada Februari 2024 mencapai US$ 351,25 per ton. Angka ini naik 4,7 % dibandingkan bulan sebelumnya.

Rabu pekan lalu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membenarkan kondisi perpupukan tersebut saat rapat kerja bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat. Pasokan pupuk bersubsidi mulai susut sejak dia tak menjabat Menteri Pertanian pada 2019.

Menurut Amran, pemerintah sebenarnya sudah konsisten menganggarkan subsidi pupuk 9,55 juta ton pada 2014-2018. Volumenya mulai turun pada 2019 menjadi 8,87 juta ton dan kembali susut pada 2022 sebanyak 7,78 juta ton. Bahkan, dibandingkan alokasi 2018, jatah pupuk tahun ini tinggal separuhnya sekitar 4,73 juta ton.

Karena itu, kementeriannya mengusulkan penambahan anggaran subsidi pupuk pada paruh kedua 2024 mencapai Rp 14 triliun. Amran menyadari bahwa salah satu akar kenaikan harga beras lantaran minimnya pasokan pupuk bersubsidi. Sebab hal itu akan menekan produksi padi dan membuat penggilingan memperebutkan gabah petani.

Selain produksi padi per hekatare yang rendah lantaran minim pupuk, pasokan beras nasional berkurang karena luas lahan tanam menurun. Menurut Amran, data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa luas tanaman padi pada 2024 menyusut signifikan hinggga 1,9 juta hektare dibandingkan tahun lalu.

Masalah produksi padi belum selesai di sini. Perubaan iklim pada tahun lalu memicu El Nino. Naiknya suhu muka laut ini membuat cuaca berubah. Bagi Indonesia berarti curah hujan berkurang sehingga musim kemarau makin panjang. Alhasil, di sebagian daerah, masa tanam mundur. Tak sedikit yang gagal panen. “El Nino atau disrupsi climate change menyebabkan produksi turun 30 persen,” kata Amran.

Volume Produksi Padi Nasional (Katadata | Muhamad Yana)

Center for Indonesian Policy Studies pada awal Januari lalu juga menyoroti hal ini. Lembaga penilitian tersebut melaporkan, EL Nino menimbulkan gagal panen di sejumalah sentra produsen padi sehingga pasokan beras berkurang pada akhir tahun lalu.

Peniliti CIPS Aditya Alta mangatakan musim kemarau yang datang lebih cepat dan berlangsung lebih panjang memicu keterlambatan panen padi. Musim tanam pertama 2024 yang seharusnya bisa dimulai pada Oktober 2023 mundur ke Desember karena musim hujan telat.

Alhasil, panen baru bisa dinikmati sekitar Maret dan April 2024. Lantaran itu, kata Aditya, produksi padi turun di kedua bulan pertama tahun ini.

Reporter: Andi M. Arief, Muhamad Fajar Riyandanu, Ade Rosman, Antara