Fenomena Maraknya Kejahatan ‘Klitih’ di Yogyakarta

Fenomena Maraknya Kejahatan ‘Klitih’ di Yogyakarta

Fenomena “klitih” yang marak terjadi di Yogyakarta nampaknya bertolak belakang dengan karakteristik budaya daerah tersebut. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. Banyak didirikan lembaga pendidikan di daerah tersebut sehingga menjadi daya tarik pelajar dari berbagai daerah untuk menimba ilmu di kota ini.

Masyarakat Yogyakarta juga dikenal ramah dan santun dalam tutur kata dan perilaku. Namun, maraknya kejahatan di kota ini menjadikannya salah satu daerah paling rawan di Pulau Jawa.

Salah satu bentuk kejahatan yang cukup marak dan meresahkan warga Yogya akhir-akhir ini adalah kejahatan jalanan atau yang dikenal dengan istilah kelentit.

Kutipan Psikologi LM UGMmengatakan kelentit berasal dari bahasa jawa yang berarti kegiatan mencari angin di luar rumah. Klitih diambil dari “Pasar Klitikan” Yogyakarta yang diartikan sebagai kegiatan santai sambil mencari barang bekas yang dalam bahasa Jawa berarti “klitikan”.

Tidak ada konotasi negatif dalam arti aslinya kelentit. Namun seiring berjalannya waktu, term kelentit mengalami pergeseran makna sebagai tindak pidana.

(Baca juga: Review Data: Benarkah Warga Yogyakarta Bahagia Meski Miskin?)

Dalam banyak kasus, pelaku kelentit adalah sekelompok remaja atau pelajar yang menggunakan senjata tajam. Dilakukan dari tengah malam hingga dini hari, banyak menelan korban jiwa.

Tujuan aksi kelentit adalah untuk menunjukkan identitas mereka dengan menyakiti korban. Namun, pelaku dan korban tidak saling kenal.

Tindakan terbaru kelentit terulang lagi. Polisi Yogyakarta menangkap 15 penjahat kelentit pada 26 Maret 2023. Sembilan di antaranya masih di bawah umur.

Aksi yang terjadi di Jalan Tentara Rakyat Mataram, Bumijo, Jetis itu menyebabkan korban yang berusia 15 tahun itu sakit kritis dan menjalani perawatan serius di RS Dokter Sardjito.

Peristiwa yang terjadi di Bumijo menambah panjang daftar kasus kelentit Yogyakarta dalam beberapa bulan terakhir. Kapalda DIY Irjen Pol. Suwondo Nainggolan menyebut, sepanjang Januari-Februari 2023 ada 76 anak di bawah umur yang terlibat. kelentit.

“Kami terus memperbarui data hingga mencapai detail. Sehingga dapat dilakukan pemetaan secara detail terutama pada tempat-tempat yang rawan kejadian sehingga dapat dicegah,” ujar Suwondo seperti dikutip dari Harian Yogyakarta.

Peningkatan kasus kejahatan jalanan di Yogyakarta juga terlihat pada periode 2020-2021. Menurut catatan Polda DIY, ada 52 kasus kelentit pada tahun 2020. Angka ini meningkat menjadi 58 kasus pada tahun berikutnya.

Klitih merupakan bagian kecil dari kejahatan di Yogyakarta. Jika melihat data satu dekade terakhir, angka kriminalitas di kota ini justru menurun. Pada tahun 2012, kejahatan konvensional mencapai 6.044 kasus. Angka ini berhasil diturunkan sebesar 23% menjadi 4.617 kasus pada tahun 2022.

Meski angka kriminalitas mengalami penurunan, Yogyakarta merupakan wilayah dengan penduduk paling rawan kriminalitas, terutama di Pulau Jawa.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat risiko kriminalitas penduduk di Yogyakarta akan mencapai 123 orang per 100.000 penduduk pada 2021. Angka tersebut merupakan yang tertinggi kedua setelah Polda Metro Jaya. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, Polda DIY memiliki risiko paling tinggi terkena tindak kriminal.

BPS menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan daerah termiskin di Pulau Jawa dengan angka kemiskinan sebesar 11,49% pada September 2022.

Tingkat kemiskinan di suatu daerah seringkali dikaitkan dengan tingginya angka kriminalitas di daerah tersebut. Namun, data menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di suatu daerah tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya tingkat kriminalitas di daerah tersebut.

Meski jumlah penduduk miskin di Yogyakarta berbanding lurus dengan rasio kriminalitas, namun berbeda dengan daerah lain. DKI Jakarta misalnya memiliki risiko tingkat kejahatan tertinggi tetapi tingkat kemiskinan terendah di Jawa.

Hal yang sama berlaku jika Anda melihat data dari wilayah lain. Misalnya, persentase penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur lebih besar dari Maluku, tetapi risiko kejahatannya jauh lebih rendah.

Tindakan kriminal kelentit Kekerasan di Yogyakarta bukanlah hal baru. Pada tahun 1970-an, banyak anak muda di kota membentuk geng yang dikenal dengan nama Persatuan Kanak-Kanak Liar (Gali).

Mereka adalah kelompok massa yang diorganisir untuk melakukan pemerasan, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan. Pemerintah Orde Baru saat itu melakukan operasi rahasia untuk memberantas kejahatan dengan menangkap dan membunuh preman yang tergabung dalam Gali.

Banyak mayat ditemukan di jalan-jalan Yogyakarta saat itu. Operasi militer ini dikenal dengan sebutan Petrus atau Penembak Misterius.

Tak hanya itu, tawuran antar geng juga marak pasca reformasi antara 2000-2010. Berbagai geng sekolah terbentuk di kota ini.

Namun berbeda dengan pertarungan yang mengetahui musuh yang dituju, yaitu pelakunya kelentit Bahkan, kebanyakan dari mereka menyerang orang yang tidak mereka kenal.

Menurut LM Psikologi UGM yang mengutip tulisan Santrock dalam buku tersebut Pendekatan Topik untuk Pengembangan Masa Hidup Edisi KesembilanPada masa remaja individu menghadapi masalah dalam menemukan jati dirinya.

Motivasi aktor kelentit adalah untuk menyesuaikan mereka dengan lingkungan mereka. Pelaku Klitih adalah para remaja yang gagal mencapai identitas positif, sehingga mengalami kebingungan akan jati dirinya.

Z Finalis dalam penelitian berjudul Fenomena Klitih Sebagai Bentuk Kenakalan Remaja Dalam Perspektif Budaya Hukum di Kota Yogyakarta (2018) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang mendorong meluasnya tindakan, yaitu faktor lingkungan dan faktor internal remaja.

Kurangnya pengendalian diri dalam memilih lingkungan sebagai tempat bersosialisasi memegang peranan penting dalam membentuk perilaku remaja. Selain itu maraknya lakon klitih di Yogyakarta juga disebabkan oleh faktor internal berupa pubertas yang mempengaruhi egoisme dan rasa ingin tahu yang tinggi dari para remaja tersebut.

Latar belakang orang tua, masalah keluarga, hubungan dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, dan karakteristik individu juga sangat mempengaruhi perilaku klien di Yogyakarta.