Jelang Pemilu 2024, Mengapa Perempuan Minim Terjun ke Politik?

Jelang Pemilu 2024, Mengapa Perempuan Minim Terjun ke Politik?

Sejak Pemilu 1999, jumlah anggota DPR perempuan tidak pernah mencapai 30%. Baru-baru ini, hanya satu provinsi yang memiliki lebih dari 30 perempuan di parlemennya.

Contoh yang baik bukan di ibu kota Jakarta, melainkan di Kalimantan Tengah.

Wilayah ini memiliki jumlah partisipasi politik perempuan yang stabil di parlemen. Dalam dua tahun terakhir persentasenya mencapai 33,33%.

Sedangkan rata-rata partisipasi perempuan di parlemen Indonesia hanya 21,9% pada 2021. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan hanya tujuh daerah yang memiliki partisipasi di atas rata-rata di Indonesia.

UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam organisasi dan kepengurusan di tingkat pusat.

Angka ini mengacu pada rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa perubahan dan kualitas keputusan lembaga publik akan berdampak dengan partisipasi perempuan minimal 30%.

Kemudian, Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 juga mensyaratkan setiap tiga calon memiliki minimal satu perempuan.

Kebijakan ini bertujuan untuk menghindari dominasi laki-laki dalam lembaga politik yang memberlakukan kebijakan publik.

Namun jika dilihat secara umum, keterlibatan perempuan di parlemen sejak satu dekade terakhir (2012-2021) tidak banyak berubah. Bahkan terus turun di 16 provinsi di Indonesia.

Nusa Tenggara Barat memegang rekor pertama sebagai provinsi dengan partisipasi perempuan terendah dalam satu dekade terakhir. Di wilayah ini, tingkat partisipasi turun menjadi lebih dari 586%.

Jakarta sebagai ibu kota negara, wajah dan cermin politik di Indonesia juga mengalami penurunan jumlah partisipasi perempuan di parlemen sebesar 12,76%.

Selama periode ini, jumlah partisipasi politik perempuan di parlemen juga tidak banyak berubah. Angka tersebut hanya meningkat dari 18,04% pada tahun 2012 menjadi 21,89% pada tahun 2021.

Di tingkat ASEAN, Inter-Parliamentary Union (IPU) menyebutkan keterwakilan perempuan di parlemen di Indonesia menempati urutan keenam. Proporsi perempuan di parlemen Indonesia berada di bawah Timor Leste yang baru “merdeka” pada tahun 2002.

Minimnya keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya terjadi di parlemen. Selama ini, kandidat dalam pemilihan presiden seringkali didominasi laki-laki.

Perempuan memiliki banyak kendala ketika memutuskan untuk aktif dalam politik. Budaya patriarki terlalu kental dan mendiskriminasi di segala bidang. Perempuan bahkan dianggap kurang mampu secara politik dibandingkan laki-laki.

Selain itu, ada berbagai beban yang masih harus ditanggung perempuan di ruang domestik. Seperti yang dikatakan Megawati, “Saat itu, saya wakil presiden, presiden masih memasak untuk keluarga saya,” kapan awal penanggulangan stunting yang diselenggarakan oleh BKKBN pada tanggal 8 Agustus 2022.

Namun, Mega mungkin tidak sadar telah memasuki lingkungan budaya patriarki. Karena di kalimat selanjutnya dia juga memberikan label buruk pada wanita yang tidak pandai memasak.

“Menurut saya, alasan yang tidak masuk akal adalah perempuan tidak bisa memasak,” kata Mega.

Megawati adalah representasi perempuan dalam politik: Harus bisa melakukan segalanya tapi tidak pernah dianggap cukup.

Padahal laki-laki dalam politik tidak pernah diharuskan mengurus pekerjaan rumah tangga. Tidak pernah ditanya tentang kiprah mereka dalam membangun keluarga. Hal seperti inilah yang membuat politik Indonesia menjadi eksklusif.

“Studi kami menyebutkan bahwa 9 dari 10 atau 97 persen remaja putri mengakui adanya berbagai kendala dalam proses partisipasi politik,” jelas Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti.

Menurut penelitian State of The World’s Girls Report (SOTWG) yang diterbitkan oleh Plan Indonesia, hambatan tersebut bersifat interseksional dan struktural.

Stereotip masyarakat membentuk gagasan tentang apa yang pantas dan tidak pantas bagi perempuan. Usia dan jenis kelamin mereka selalu menjadi penentu kapasitas dan kemampuan politik. Perempuan tidak memiliki akses ke pengambilan keputusan politik dan diremehkan ketika mereka angkat bicara.

“Sebanyak 20% responden yang merupakan perempuan muda Indonesia melihat fenomena masyarakat yang kurang menerima perempuan sebagai pemimpin politik negara,” lanjut Dini.

Angka tersebut jauh dari pendapat remaja putri secara global. Sebanyak 49% menganggap perempuan lebih diterima sebagai pemimpin politik di negaranya.

Maka jangan heran jika perempuan menjadi minoritas dalam perpolitikan Indonesia. Konstruksi mayoritas membuat mereka tidak aman dan jatuh perlahan sebelum maju menjadi pemimpin politik.

Mereka membentuk diri sebagai rakyat kecil, sehingga tidak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin di tingkat daerah, apalagi di tingkat nasional. Dini mengatakan, hanya 36% remaja putri Indonesia yang percaya bahwa perempuan juga mampu dan bisa menjadi pemimpin di bidang lokal.

Angka tersebut lebih kecil lagi jika dihadapkan pada kepercayaan untuk menjadi pemimpin di tingkat parlemen (22%) dan tingkat negara bagian (20%).

“Meskipun demikian, 94 responden atau 9 dari 10 remaja putri berpendapat bahwa partisipasi perempuan dalam politik sangat penting,” ujarnya.

Mereka percaya bahwa partisipasi perempuan dalam politik diperlukan untuk mempengaruhi perubahan yang lebih dekat dengan masyarakat, seperti kesehatan reproduksi, kemiskinan, pendidikan, lingkungan, kekerasan atau kejahatan.

“Karena saat ini mayoritas (54%) remaja putri tidak percaya dan kurang percaya diri (30%) dalam menyalurkan aspirasinya kepada pemimpin politiknya,” kata Dini.

Penelitian ini dilakukan antara Februari hingga Maret 2022 dengan melibatkan 1.000 perempuan Indonesia berusia 15-24 tahun. Responden berasal dari kelompok etnis, penyandang disabilitas, pengungsi dan agama minoritas. Di tingkat global, jumlah responden mencapai 29 ribu remaja putri dari 29 negara termasuk Indonesia.