Juky Mariska : Strategi Investasi di Era yang Penuh Tantangan

Logo

Performa pasar saham global mengalami tekanan signifikan sepanjang September.  Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing melemah -3,5%, -4,8%, dan -5,81%. Keputusan bank sentral Fed pada pertemuan FOMC bulan September lalu dengan mempertahankan tingkat suku bunga di level 5,25% – 5,50% telah diantisipasi secara luas oleh investor. 

Namun, Gubernur Fed, Jerome Powell pascapertemuan tersebut menyisakan sentimen negatif yang mendalam. Dia menyatakan potensi kenaikan suku bunga satu kali lagi pada 2023 ini, dan menahan suku bunga higher for longer. 

Kenaikan harga minyak global ke kisaran level US$93 per barel, yang merupakan level tertinggi dalam setahun terakhir, juga turut membebani pergerakan pasar akibat ancaman inflasi yang berpotensi meningkat.

Hal ini mengakibatkan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun meningkat ke 4,6%, level tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Kekhawatiran investor akan kebijakan higher for longer mendorong aksi sell-off di pasar obligasi global. 

Kekhawatiran akan inflasi turut dialami pasar saham Eropa. Indeks DAX Jerman melemah 3,91% dan Eurostoxx50 melemah 3,15%. Bank sentral Eropa (ECB) di luar dugaan menaikkan suku bunga acuan ke level 4,5%. Kenaikan tingkat suku bunga dinilai akan terus membebani upaya pemulihan ekonomi yang saat ini masih tertekan. 

Pertumbuhan PDB Eropa kuartal II-2023 dilaporkan tumbuh sebesar 0,5%, lebih rendah dari periode sebelumnya di 0,6%. Sementara, pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa dilaporkan bertahan di level kontraksi, masing-masing di level 43,5 dan 46,7.

Sementara itu di Asia, mayoritas pergerakan pasar saham juga mengalami penurunan, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -3,86% sepanjang bulan September. Masih tingginya ketidakpastian ekonomi Tiongkok membuat sebagian besar investor mundur dari aset berisiko. Investor masih menyoroti perkembangan sektor properti Tiongkok, sebab perusahaan properti terbesar, Evergrande, belum dapat menyelesaikan permasalahan utang yang akan jatuh tempo. 

Dari sisi fundamental, laporan data ekonomi China mulai menunjukan tanda-tanda pemulihan. Sektor manufaktur di September dilaporkan berhasil naik ke level ekspansi 50,2. Sementara tingkat output industri tumbuh 4,5% di Agustus, dan penjualan ritel tumbuh 4,6%.

Dari perekonomian domestik, Bank Indonesia sesuai dengan ekspektasi kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya bank sentral dalam menjaga tingkat inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran 3 ±1%. 

Angka surplus neraca perdagangan sebesar US$3,1 miliar, jauh lebih tinggi dari estimasi sebesar US$1,5 miliar. Begitu pula dengan tingkat keyakinan konsumen, dilaporkan sebesar 125,2, meningkat dari bulan sebelumnya di 123,5. Sementara pertumbuhan sektor manufaktur bertahan di level ekspansi 53,9.

IHSG mencatatkan penurunan sebesar -0,19% sepanjang September. Saham di sektor properti dan konsumen siklikal memimpin pelemahan, masing-masing sebesar -4,41% dan -3,98%. Pelemahan pasar saham di bulan September dibebani salah satunya dari outflow dana asing yang sepanjang 2023 telah keluar sebesar US$308 juta. 

Di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh pada 2023 di kisaran 5,0 – 5,3%. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor keuangan, infrastruktur, dan industri. Secara historis, sektor-sektor ini memiliki kinerja relatif positif saat terjadinya perhelatan politik.

Seperti halnya yang terjadi di negara maju, pasar obligasi domestik di bulan September turut tertekan sebagai imbas dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun mengalami kenaikan ke level 6,91% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga. Kenaikan ini berlanjut di minggu awal bulan Oktober menyentuh di atas 7%. Harga minyak global yang menanjak kembali meningkatkan kekhawatiran akan inflasi turut menekan pasar obligasi. 

Dengan ketidakpastian yang meningkat di pasar obligasi, maka hal ini dapat meningkatkan volatilitas jangka pendek. Akan tetapi, secara fundamental investasi pada obligasi domestik masih cukup menarik. 

Dengan rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah penerbitan utang di 2023, tingkat defisit anggaran yang diperkirakan akan turun. Begitu juga inflasi domestik yang relatif rendah, serta kepemilikan investor asing yang cukup rendah di kisaran 15%, dapat mengurangi volatilitas. Investor kelas aset ini dapat secara selektif melakukan averaging dengan mengakumulasi pada saat terjadi penurunan harga. 

Rupiah bergerak melemah sepanjang September terhadap dolar AS sebesar 1,39% ke kisaran Rp15.460. Pelemahan rupiah diakibatkan oleh menguatnya mata uang dolar AS terhadap mata uang global. 

US Dollar Index (DXY) meningkat 1,86% ke level 106,17 sepanjang September. Dalam jangka pendek, volatilitas rupiah diperkirakan masih akan terjadi, dengan tingginya ketidakpastian akibat retorika kebijakan suku bunga Fed, higher for longer. 

Sementara itu, Bank Indonesia berkomitmen untuk tetap menjaga stabilitas rupiah melalui beberapa kebijakan makroprudential dan sistem pembayaran, seperti halnya kebijakan Local Currency Settlement (LCS), Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), ataupun kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Cadangan devisa September dirilis stabil di level yang tinggi atau sebesar US$134,9 miliar, setara dengan  pembiayaan enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Melihat penjabaran kondisi perekonomian baik dalam maupun luar negeri, tentunya akan mempengaruhi volatilitas pada pasar keuangan. Sehingga, bagi yang sedang merencanakan investasi, pastikan untuk mengetahui profil risiko Anda sebelum berinvestasi. 

Anda dapat mengoptimalkan imbal hasil dan mengendalikan risiko dengan melakukan strategi investasi seperti alokasi aset dalam portofolio keuangan, diversifikasi, melakukan strategi barbell, hingga dollar cost averaging. 

Tak hanya menentukan strategi investasi, kita pun perlu mengeksekusi strategi tersebut. Mulai berinvestasi saat ini tidak hanya dilakukan dengan cara tradisional, dimana kita perlu datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses tatap muka secara langsung. Berkat kemajuan teknologi, semua dapat dilakukan dimana saja secara online. 

Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.