Made Handijaya Dewantara : Optimalisasi Retribusi Budaya dari Wisatawan Mancanegara di Bali

Logo Katadata

Mulai 1 Februari 2024, retribusi untuk perlindungan budaya dan lingkungan alam mulai diterapkan di Bali. Hal ini sejalan dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pengutan Bagi Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali.

Aturan itu mewajibkan setiap wisatawan asing yang berkunjung ke Bali untuk membayar Rp 150.000 atau sekitar US$ 10, yang dibayarkan melalui portal website atau aplikasi Love Bali. Peraturan ini disusun dengan tujuan utama untuk membantu masyarakat Bali dalam melestarikan budaya, lingkungan, dan sekaligus menangani permasalahan sampah di Provinsi Bali.

Sikap pro dan kontra bermunculan di tengah pelaku maupun pemerhati sektor pariwisata terkait dengan kebijakan ini. Mereka yang mendukung kebijakan ini memandang urgensi dibutuhkannya dana tambahan bagi masyarakat Bali dalam menjaga budaya maupun lingkungan, sehingga sisi keberlanjutannya akan tetap terjaga. Di sisi lain, mereka yang kontra dengan kebijakan tersebut merasa sangsi proses pelaksanaan dan pengalokasian retribusi benar-benar akan dimanfaatkan untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan dan pelestarian budaya Bali.

Artikel ini mencoba untuk menjawab keraguan pihak-pihak yang khawatir dengan pengalokasian retribusi ini. Di sisi lain, artikel ini juga mencoba untuk mengajak mereka yang mendukung kebijakan ini untuk tetap konsisten dalam melakukan pengamatan ketika kebijakan benar-benar sudah diterapkan.

Sebelum membahas mengenai sejumlah rekomendasi agar kebijakan berlangsung optimal, terdapat dua hal yang harus ditelusuri lebih jauh, antara lain alasan kuat mengapa kebijakan ini penting untuk dijalankan dan contoh sukses yang menjalankan retribusi serupa.

Sesuai dasar hukum, pemerintah Bali menjalankan kebijakan ini dalam rangka melestarikan budaya dan merawat lingkungan di Bali. Melihat dua sisi ini, retribusi memang sangat urgen untuk dilakukan. Dari sisi lingkungan, semenjak masifnya kedatangan wisatawan maupun perhelatan event akbar di Bali, tanda-tanda kerusakan lingkungan mulai terasa.

Tidak dapat dipungkiri betapa pentingnya sektor pariwisata bagi perekonomian Bali. Namun di sisi lain, dampak negatif dari sisi lingkungan pun tidak terelakkan. Dampak yang cukup terasa adalah mulai langkanya sumber air bersih seiring penggunaan air tanah secara masif dan sejumlah pantai di selatan Bali juga mulai mengalami permasalahan abrasi.

Dari sekian permasalahan lingkungan seperti polusi udara, air, dan tanah, hal yang benar-benar mendesak untuk ditangani adalah persoalan sampah. Hal ini begitu terasa saat tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung yang menjaga sendi pengelolaan sampah di Bali berhenti beroperasi akibat adanya kebakaran. Tampaknya tidak adil apabila masyarakat Bali dituntut berjuang sendiri dalam menghadapi sejumlah persoalan lingkungan yang disebabkan oleh melonjaknya kedatangan wisatawan.

Dari sisi budaya, masyarakat Bali cukup dikenal sebagai kelompok masyarakat yang menghabiskan lebih dari setengah penghasilannya untuk pelestarian budaya. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat Bali dalam menjalankan adat istiadat dan nilai luhur yang telah diwariskan dari nenek moyang turun temurun.

Sayangnya, selama ini masyarakat Bali terkesan berjuang sendiri dalam mempertahankan budaya. Adanya retribusi ini setidaknya akan meringankan beban masyarakat Bali dalam melaksanakan aktivitas adat, baik yang bersifat harian, bulanan, maupun tahunan.

Sejumlah pihak sebenarnya juga khawatir dengan sisi kompetitif pulau Bali apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan. Apakah wisatawan yang tadinya memilih Bali, akan berpaling ke destinasi lain?