Tidak Boleh Ada yang Tertinggal dalam Pengelolaan Hutan – Bambang Supriyanto

Tidak Boleh Ada yang Tertinggal dalam Pengelolaan Hutan - Bambang Supriyanto

Sejak diluncurkan pada tahun 2017, konsep Perhutanan Sosial berkembang pesat di Indonesia. Program ini memberikan landasan hukum bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan sekitarnya secara lebih lestari. Perhutanan Sosial juga merupakan cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Pada acara COP27 di Sharm el Sheikh, Perhutanan Sosial juga menjadi salah satu isu yang dibawa Indonesia ke perundingan internasional. “Dalam forum tersebut kami mengusulkan untuk tidak menggunakan istilah ‘masyarakat adat’ tetapi ‘masyarakat biasa’ atau ‘masyarakat adat’,” kata Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepada Katadata.

Di luar kesibukan agenda COP27, Bambang menyempatkan diri berbincang dengan Katadata untuk membahas perkembangan terkini program perhutanan sosial. Ia juga membahas potensi kerjasama hutan tropis antara Indonesia, Brazil dan Republik Demokratik Kongo yang diperkenalkan pada COP27.

Berikut petikan wawancaranya:

Apa agenda Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di COP27?

Jadi yang pertama adalah apa yang disebut acara wajib pra-COP27 yang akan diadakan UNFCCC dari 1-4 November 2022. Nama forumnya adalah komunitas lokal, platform adat (LCIPP). Itu adalah pertemuan ke-8. Jadi pra berarti mengumpulkan pandangan dari semua komunitas lokal dan masyarakat adat. Kumpulkan dulu, setuju, apa yang harus dibawa ke sini.

Jadi LCIP sebenarnya merupakan mandat dari Pasal 6 Paris Agreement, bahwa untuk menurunkan emisi melalui adaptasi dan mitigasi, tidak ada pihak yang tertinggal. Itu harus memiliki banyak pihak, itu harus bekerja sama. Tidak hanya negara, swasta dan masyarakat juga ada.

Nah, walaupun banyak pihak yang bermain, makanya platform ini dibangun oleh UNFCCC sebagai wadah satu suara, yang kita perjuangkan. Intinya adalah mereka berjuang untuk itu [masyarakat adat] Cara berpikirnya tradisional, dia tinggal di daerah terpencil sehingga kalau soal perubahan iklim, informasinya cukup jauh. Maka dari itu ada tiga yang disepakati pada pertemuan LCIPP ke-8.

Apa yang disepakati?

Pertama, kita ingin dalam konteks mitigasi dan adaptasi membuat rencana kerja 2022-2024. Adaptasi seperti apa, mitigasi seperti apa. Kedua, yang memprihatinkan adalah apa yang disebut kearifan lokal, pengetahuan tradisional terkait hutan kini ada di kalangan orang tua. Yang disebut Majlis Adat atau sesepuh biasanya adalah sesepuh. Sehingga ada kecenderungan dengan modernisasi terjadi kemerosotan nilai-nilai budaya oleh generasi muda.

Oleh karena itu, apa yang pemuda setujui, pemuda ini dapat diubah. Kemarin kita sepakat melalui pendidikan formal dan informal. Jika formal melalui muatan lokal di sekolah, kemudian informal melalui pelatihan dan sebagainya.

Kemudian yang ketiga, perjanjian tentang perempuan. Jadi perempuan tidak hanya di Indonesia saja, di seluruh dunia selalu tertinggal dalam konteks masyarakat dan adat setempat. Kecuali di daerah-daerah tertentu, misalnya seperti Padang bisa, tapi secara umum selalu tertinggal. Oleh karena itu, kemarin kita sepakat ada dua, yang pertama bagaimana perempuan bisa berperan dalam mengelola sumber daya alamnya. Kemudian yang kedua dalam konteks proses pengambilan keputusan.

Saat ini sedang dibahas dan dinegosiasikan dengan pihak-pihak, negara lain dan badan PBB mereka di sini. Jika diterima, ketiga hal ini akan berhasil.

Apa rekomendasi dari Indonesia?

Kemarin kami diberi kesempatan untuk berbicara di sana, dan saya berdiskusi bahwa kami tidak mengenal istilah orang asli, tetapi kami menggunakan orang adat atau orang adat.

Mengapa? Karena kami berbeda dengan AS dan Kanada, di AS kami bernegosiasi dengan suku Indian. Ini negara bagian demi negara bagian seperti pesta ke pesta. Jika Indonesia tidak, Indonesia memiliki 1.218 suku bangsa, maka kami sepakat untuk mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Undang-Undang Dasar 45. Adat diatur selama ada. Ada juga beberapa peraturan tentang pengelolaan hutan, yang mengatakan bahwa itu adalah bagian dari negara Republik Indonesia dan tidak hanya diakui tetapi juga diakui.

Sekarang pertanyaannya tentu saja, apakah ada contoh praktis dalam konteks adaptasi dan mitigasi? Tadi malam kami membicarakannya di forum paviliun dan saya membicarakannya di sana. Misalnya Kasepuhan tahu yang namanya ruang, ada hutan yang dijaga, ditutup, dan dibudidayakan. Jika deposit dan penutup tidak disentuh, apa artinya? Itu menghemat stok karbon. Sehingga mereka dengan adat-istiadat, kearifan lokal, dan kearifan tradisionalnya akan menjaga kawasan tersebut. Apa arti? Itu konservasi, konservasi karbon.

Lalu bagaimana dengan konservasi karbon? Seren tahun, beras tidak laku. Ada 32 jenis beras yang diwariskan secara turun temurun di sana. Begitu dia mendapat panen besar menurut adatnya, dia dimasukkan ke dalam leuit, kemudian bila masa paceklik sulit panen, maka dia tidak menjualnya, dibagikan kepada masyarakat dan bisa ditanam lagi.

Itu contoh dalam konteks mitigasi tapi untuk melestarikan stok karbon. Tapi untuk menambah stok karbon, namanya hutan budidaya, seperti agroforestry, ada tanaman hutan, padi, kopi, dan sebagainya. Jadi menurut saya kalau kita membayangkan kearifan lokal itu dipertahankan akan memberikan kontribusi yang besar.

Tadi malam saya hitung dari FOLU Net Sink Indonesia 2030 targetnya 140 juta ton setara CO2, perhutanan sosial akan berkontribusi 5,2 juta ton atau sekitar 5,2%. Itu skenario minimalis, tapi kalau kita diskon maka bisa sampai 20%

Jadi sekarang dalam negosiasi internasional kami tidak menggunakan istilah itu penduduk asli?

Kami menggunakan orang tradisional atau orang tradisional.

Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ‘orang asli’?

Ya, orang asli atau pilar tradisional masyarakat. Itu konsisten. Jadi dalam negosiasi itu saya berargumen apakah bisa membedakan masyarakat lokal dengan masyarakat adat? Lalu mereka bingung dan bertanya kepada saya, bagaimana di Indonesia?

Di Indonesia, yang disebut orang adat harus memenuhi lima syarat. Pertama, ia harus hidup komunal, harus berkomunitas. Kemudian yang kedua, dia harus memiliki lembaga adat. Ada pemimpin adat. Lalu yang ketiga, harus ada hukum adat. Keempat, wilayah adat dan kelima, ketergantungan terhadap sumber daya hutan yang menjadi tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, jika 5 syarat di atas tidak terpenuhi, kami memanggil masyarakat setempat.

Bisakah dia mengelola sumber daya hutan? Ya, tapi dengan Perhutanan Sosial dengan empat skema lainnya; kelompok petani hutan misalnya. Jadi kehadiran saya disini penting menurut saya, kuncinya tidak boleh ada yang terlewatkan dalam konteks tata kelola iklim.

Bagaimana dengan pengembangan Perhutanan Sosial?

Wajar saja dalam tiga tahun ini, semuanya menderita. Saya akui karena ada Covid-19. Pemerintah fokus pada pengelolaan kesehatan sehingga banyak pemotongan anggaran.

Kemudian dampak covid yang kedua adalah PPKM. Saya pastikan agar kelompok tani mendapat akses, dalam artian akses ke pengelolaan rakyat, harus diverifikasi nama sesuai alamat di lapangan. Jika area berwarna merah [zona merah] tidak bisa.

Jadi masih perlu kerja keras. Tapi yang terpenting bukan hanya distribusi akses tapi kita juga butuh banyak teman. Setelah mendapatkan akses, mereka harus mendapat pendampingan agar tata kelola kelembagaan baik, tata kelola hutan baik, tata kelola sosial baik.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman memperkenalkan pakta hutan tropis antara Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo. Bagaimana kolaborasi ini cocok dengan program Perhutanan Sosial?

Saya pikir semuanya akan sama karena di Kongo dan Brasil juga ada penduduk asli. Soal kolaborasi, visinya sama, mengurangi emisi. Tetapi konsep internasional ini harus dipahami secara lokal, artinya harus diterjemahkan dan bahasanya harus lokal, dan sebaliknya bahasa lokal dapat diterjemahkan ke dalam bahasa internasional.

Jadi menurut saya prinsip dalam konteks tata kelola iklim adalah bahwa yang besar bekerja dengan yang kecil, menumbuhkan yang kecil. Itu yang kita sebut kerjasama, jadi tujuannya sama. Jika kita melakukan ini sendirian, tidak mungkin untuk mencapainya.

Bagaimana caranya? Saya akan memberi Anda sebuah contoh. Selain LSM, aktivis perhutanan sosial, kami juga bekerja sama dengan perusahaan. Mereka memiliki kewajiban untuk menjadi hijau, bukan? Kami meluncurkan program yang kami sebut cocok untuk Perhutanan Sosial. Jadi perusahaan-perusahaan itu memiliki tanggung jawab untuk menjadi netral karbon. Dia perlu melakukan pendampingan di Perhutanan Sosial agar kekayaannya bisa bertambah.

Jika program kolaboratif akhirnya memungkinkan stok karbon Ya pak, keseimbangan. Bahwa dalam Perhutanan Sosial sendiri, mekanismenya untuk apa kompensasi karbon?

Jadi mekanismenya diatur. Ada yang namanya nilai ekonomi karbon [NEK]. Sebenarnya terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah FOLU Net Sink, jadi skema pembiayaannya dari BPDLH. Jadi uangnya akan dimasukkan ke sana dan manfaatnya akan masuk ke masyarakat. Sebenarnya sudah dimulai lho, dana perubahan iklim sudah terjadi dan kami sudah menerapkannya.

Jadi yang namanya adaptasi mitigasi itu butuh investasi awal, jangan dikira tidak butuh investasi. Investasi itu bisa dari pemerintah, bisa dari NGO, bisa juga internasional, bisa juga dari swasta. Sekarang kami tidak hanya mengelola itu, tetapi kami akan mengelola banyak pihak, misalnya contoh multipemain pertama yang kami rilis disebut bekerja bersama untuk mengambil bola. Jadi tidak perlu proposal untuk mengajukan Perhutanan Sosial, tapi kami akan bekerja dengan asisten.