Hatim Varabi : Duet Tiktok – Tokopedia, Polemik Keranjang Kuning dan Nasib UMKM

Logo

Sejak Tiktok shop ekspansi ke Indonesia, pendapat publik seperti terbelah. Sebagian mempersoalkan model bisnis mereka yang mencampurkan antara social media dan e-commerce atau seringkali disingkat social commerce. Intinya, Tiktok menjalankan bisnis e-commerce di platform sosmed.  

Kelompok yang kontra gencar mengingatkan pemerintah bahwa social commerce tidak bisa dibenarkan. E-commerce dan social media harus dipisahkan agar tercipta kompetisi yang setara. Wujud dari social commerce itu kemudian disimplifikasi pada eksistensi keranjang kuning dan live shopping.

Tapi, tidak semua pihak menolak. Para seller, pelapak, pedagang online justru sebaliknya. Mereka gembira karena terbantu dengan cara berjualan ala Tiktok shop. Dagangan lebih laris, transaksi lebih mudah dan karena itu angka penjualan meningkat. Beberapa ruko di pusat perbelanjaan yang mati suri malah bersalin rupa menjadi tempat bikin konten atau jualan live.

Pun konsumen, merasakan kenyamanan. “New Experience” ini membuat tagline “konsumen adalah raja” benar-benar terimplementasi secara optimal. Konsumen jatuh hati karena Tiktok shop memberi ruang interaksi yang intens dengan para penjual. Ini menjadi titik perbedaan paling signifikan dengan model bisnis lama pemain e-commerce.

Dulu konsumen hanya sebatas memilih barang di e-commerce. Cuma bisa mengamati foto barang, cek spesifikasi, membaca ulasan pembeli lain dan bertanya ke penjual melalui kolom chat yang dijawab di lain waktu. Tiktok shop kemudian datang dan membuat perbedaan. Fitur live shopping memampukan seller untuk mendemonstrasikan produk dan “ngobrol” langsung dengan calon pembeli.

Penjual dan pembeli seperti tatap muka tapi di dunia maya. Sebegitu dekat interaksinya.

Bisnis model Tiktok shop berhasil menggetarkan lawan dan karena itu memicu resistensi. Apalagi Tiktok bagian dari korporasi global (ByteDance) dengan likuiditas melimpah. Mereka bisa bakar duit berapapun untuk menyaingi kompetitor manapun.  

Seperti kita tahu, ruang publik kemudian dibanjiri negative campaign tentang predatory pricing, cross border dan seterusnya yang sebenarnya dilakukan juga para pemain eksisting. Semua narasi itu kemudian diarahkan dan dibingkai pada satu titik : Tiktok shop harus punya izin sebagai e-commerce atau dianggap ilegal.

Pemerintah akhirnya bertindak melalui Permendag. Langkah Tiktok terhenti kecuali melakukan dua hal. Pertama, mengurus izin dan membangun e-commerce sendiri. Atau, kedua, menjalin kemitraan dengan partner lokal yang memiliki lisensi sebagai e-commerce. Selain itu pemerintah juga meminta Tiktok melakukan pendampingan terhadap UMKM agar semakin kompetitif dalam memasarkan produk secara online.  

Langkah Kemendag ini, menurut saya, sudah tepat dan patut diapresiasi. Senyaman apapun pedagang dan pembeli bertransaksi di Tiktok shop, prinsip dasar tentang “playing field” yang sama harus ditegakkan. Pemerintah sudah bertindak benar karena Tiktok tidak akan pergi begitu saja dari negeri yang prospek ekonomi digitalnya paling menjanjikan di Asia.

Dan kita sama sama tahu, Tiktok memilih opsi berkolaborasi dengan platform e-commerce eksisting yakni Tokopedia karena paling praktis, paling efektif dan paling menghemat waktu. Tidak kebayang berapa banyak energi dan waktu yang terbuang jika harus bangun bisnis dari nol dan kerumitan proses perizinannya.