Persaingan Transaksi Elektronik di Jalur QRIS Makin Panas

Persaingan Transaksi Elektronik di Jalur QRIS Makin Panas

QRIS yang diluncurkan Bank Indonesia pada Agustus 2019 dapat diakses oleh semua layanan keuangan. Penetrasi bank dengan memperluas QRIS ke pelaku UMKM semakin besar. Perusahaan teknologi keuangan dan institusi pengelola dompet digital membutuhkan strategi khusus untuk mempertahankan pangsa pasarnya.

Dompet Loly tak lagi setebal lima tahun lalu. Bukan soal kekurangan uang, tapi uang yang dimilikinya bukan lagi dalam bentuk mata uang, melainkan dalam bentuk elektronik. Wanita berusia 23 tahun ini menyimpan uangnya di rekening bank dan membagikannya di tiga dompet digital yakni DANA, GoPay, dan OVO.

Dia menggunakan tiga e-wallet untuk kebutuhan yang berbeda. Misalnya DANA khusus untuk beli tiket bioskop di aplikasi TIX.ID, GoPay untuk transaksi narkoba di aplikasi HaloDoc, dan yang terpenting saldo OVO untuk bayar transaksi GrabFood, GrabBike, dan GrabCar.

Meski sudah menabung di berbagai dompet digital, perempuan yang bekerja di sektor consumer retail (FMCG) ini lebih cenderung menggunakan mobile banking untuk transaksi sehari-hari. Dia menjelaskan mengapa hal itu terjadi ketika dia memberi tahu Katadata.

Kedua metode pembayaran ini sudah memiliki QR Code Standar Indonesia yang dikenal dengan QRIS. Loly lebih memilih menggunakan mobile banking untuk transaksi harian dibandingkan dompet digital. Itu hanya menambah saldo dompet digital saat dibutuhkan, bukan secara berkala.

“Saya belum pernah menggunakan QRIS di dompet digital selama ini,” kata perempuan berusia 23 tahun itu. “Karena, bisa dua kali, kalau top up saldo dulu dari mobile banking baru pakai dompet digital.”

QRIS Ciptakan Kompetisi Mobile Banking dan Dompet Digital

QRIS pertama kali diluncurkan oleh Bank Indonesia pada Agustus 2019 sebagai standar kode QR yang dapat diakses oleh semua layanan keuangan. Hingga Agustus 2022, BI mencatat lebih dari 20 juta pedagang di Indonesia menggunakan layanan QRIS. Bank sentral juga menargetkan 45 juta UKM menggunakan QRIS pada 2023.

Penggunaan QRIS berkembang pesat. Dalam Buku Kajian Stabilitas Keuangan edisi September 2022, Bank Indonesia menjelaskan hingga semester I 2022, nominal penggunaan QRIS meningkat 322,5% secara tahunan atau yoy dan 194,4% secara volume.

Sedangkan jumlah transaksi uang elektronik meningkat 40,6% yoy menjadi Rp. 185,7 triliun dan nilai transaksi layanan perbankan digital meningkat 40,2% yoy menjadi Rp. 25,1 triliun. Lihat bagan di Kotak data pengikut.

Sebelum adanya QRIS, dompet digital seperti OVO dan GoPay memiliki QR sendiri yang hanya menerima transaksi dari dompet digital yang sama. Tiga tahun berselang, kini pengamat menilai QRIS berhasil mengubah pola persaingan antar penyelenggara jasa pembayaran (PJP), baik dari bank digital, mobile banking, hingga dompet digital alias e-wallet.

Direktur Pusat Kajian Ekonomi dan Hukum Bhima Yudhistira mengamati, sebelum QRIS ada, masyarakat menggunakan e-wallet untuk membayar transaksi belanja online di e-commerce atau Super App. Selain itu, QR yang hanya dapat digunakan khusus untuk satu e-wallet memberikan efek yang unggul sehingga perusahaan e-wallet dapat melakukan pendekatan langsung ke merchant.

Namun, dengan penerapan QRIS sejak 2020, Bhima yakin transaksi digital mulai bergeser ke mobile banking, ketimbang e-wallet. “Masyarakat lebih nyaman menggunakan mobile banking tanpa harus menambah nilai e-wallet karena akan dikenakan biaya admin sebesar Rp1.000. Segmen e-wallet menyusut dan QRIS ini menjadi momen kemenangan perbankan,” ujarnya kepada Katadata, Kamis (27/10).

Pernyataan Bhima ini sejalan dengan hasil survei Populix Juli lalu yang menunjukkan bahwa mobile banking lebih diminati masyarakat Indonesia, dengan persentase penggunaan sebesar 91%. Di bawah mobile banking, dompet digital alias e-wallet digunakan oleh 84% masyarakat Indonesia.

Dalam survei yang dilakukan pada 2-25 Mei 2022, diketahui bahwa Gopay, DANA, dan OVO menjadi tiga besar dompet digital yang digunakan masyarakat Indonesia. Masing-masing bagian adalah 88%, 83% dan 79%.

“Dompet digital banyak diminati karena praktis dan bisa digunakan sebagai metode pembayaran transaksi di e-commerce,” tulis Populix seperti dilansir Katadata, Senin (24/10).

Kepraktisan QRIS dirasakan oleh Marifah tahun lalu. Sebagai pelaku UKM yang memproduksi pakaian anak, ia dan resellernya sangat terbantu saat melakukan transaksi. Tidak perlu memasukkan nomor rekening untuk transfer, pembeli cukup scan QR Code merchant, lalu proses pembayaran langsung dimulai.

Saat berjualan offline, ia sangat terbantu dengan QRIS karena pembeli memiliki banyak rekening bank. “Praktis dan nyaman. Bisa bayar atau terima dari rekening bank manapun,” ujarnya. “Tidak perlu dua langkah untuk mentransfer saldo ke dompet digital terlebih dahulu.”

Berbeda dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute of Economic and Financial Development (INDEF) Tauhid Ahmad menilai QRIS di kedua penyedia layanan pembayaran tersebut tidak akan menciptakan persaingan. QRIS dapat mendukung kedua opsi pembayaran tersebut.

Oleh karena itu, mobile banking dan e-wallet merupakan alias yang saling melengkapi. Di sisi lain, Tauhid melihat e-wallet bisa lebih baik dari mobile banking karena lebih praktis tanpa harus verifikasi data untuk mengakses menu transaksi.

“Secara ekonomi juga tidak ada perubahan. Dari sisi moneter, ini termasuk uang yang beredar meskipun digital,” kata Tauhid dalam sambungan telepon dengan Katadata, Rabu (26/10).

Bagaimana QRIS Mempengaruhi Dompet Digital?

Perusahaan financial technology DANA menyatakan ada dampak positif setelah penerapan QRIS di semua penyedia layanan pembayaran. “Pengguna lebih fleksibel dalam memilih metode pembayaran sesuka hati dan memiliki pengalaman transaksi digital yang lebih beragam,” kata Putri Dianita, Vice President Corporate Communications DANA kepada Katadata, Rabu (26/10).

Hingga September 2022, DANA mencatatkan tren positif jumlah transaksi harian. Dibandingkan tahun lalu, tiga fitur yang paling banyak digunakan pengguna DANA adalah Kirim Uang dengan peningkatan 386%, DANA eMAS meningkat 289%, dan jumlah transaksi Biller yang digunakan untuk membayar tagihan rumah tangga meningkat 236%.

Hal yang sama terlihat dari penyedia layanan pembayaran GoPay di bawah naungan Gojek-Tokopedia (GOTO). Data prospektus perseroan menunjukkan penerapan QRIS di awal tahun 2020 belum tentu menurunkan pendapatan perseroan.

Pada tahun 2019, GOTO membukukan pendapatan bersih dari segmen layanan teknologi finansial, GoPay, sebesar Rp899,2 miliar. Angka tersebut meningkat menjadi Rp 1,03 triliun pada akhir tahun 2020. Namun GOTO tidak menyebutkan detail pendapatan GoPay, baik dari transaksi antar pengguna GoPay maupun dompet digital lainnya.

Penyedia layanan pembayaran di tanah air juga berekspansi secara masif. Bank Indonesia juga membagi tiga kategori izin PJP dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021. GoPay dan OVO misalnya termasuk dalam lisensi kategori satu yang merupakan penyedia layanan pembayaran dengan modal disetor minimal Rp 15 miliar.

Mereka melakukan kegiatan penatausahaan sumber dana, memberikan informasi tentang sumber dana, memulai pembayaran dan/atau mendapatkan layanan, serta layanan pengiriman uang. Melansir laman BI, terdapat 176 penyedia layanan pembayaran kategori lisensi pertama, antara lain ShopeePay, DANA, dan LinkAja.

Strategi Dompet Digital untuk Bersaing dengan Mobile Banking

Dengan banyaknya pemain yang menyediakan layanan pembayaran, dompet digital dirasa perlu menyusun strategi ekspansi untuk bersaing dengan layanan mobile banking. Dalam catatan Katadata, dompet digital kerap mengadakan promosi dan menebar diskon untuk menarik mitra dan pengguna baru. Namun, merujuk pada situasi ekonomi global yang mengurangi investasi di perusahaan teknologi, ‘bakar uang’ ini dilakukan dengan beberapa catatan.

Bhima optimistis dompet digital tetap bisa memberikan diskon kepada penggunanya, namun ada tiga strategi baru yang ditawarkan. Pertama, kaitkan promosi ini dengan aspek logistik alias e-commerce. Dompet digital bisa menarik calon nasabah dengan iming-iming diskon atau cashback alias cashback saat bertransaksi dengan dompet digital alih-alih layanan mobile banking.

Kedua, dengan bermitra dengan bisnis omnichannel atau toko retail fisik, sehingga tidak hanya fokus pada transaksi online. Selain bersaing dalam hal promosi, Bhima menyarankan agar e-wallet bersaing dalam hal pelayanan.

Contohnya adalah jasa investasi dan asuransi yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dengan layanan yang lebih lengkap, menurutnya e-wallet akan berbeda dengan mobile banking dan dapat menarik lebih banyak pengguna.

“Akan ada seleksi alam untuk menciutkan pemain kunci yang memiliki inovasi, kolaborasi yang luas dan ekosistem yang lengkap. Nantinya, mungkin hanya ada dua sampai tiga pemain,” kata Bhima.

Firma konsultan pemasaran asal India, RedSeer, juga memprediksi tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) e-wallet di Indonesia akan mencapai 31,5% pada 2025. Perhitungan nilai transaksi e-wallet bisa mencapai US$30,8 miliar atau setara dengan Rp462. triliun pada 2022 menjadi US$ 53,3 miliar atau Rp 799,5 triliun pada 2025. Lebih lanjut, RedSeer menyatakan bahwa e-commerce dan perpindahan UMKM ke penjualan online menjadi pendorong pertumbuhan tersebut.