Rio Christiawan : Potensi Besar Blue Carbon dan Nilai Ekonominya di Bursa

Rio Christiawan : Potensi Besar Blue Carbon dan Nilai Ekonominya di Bursa

Mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan mengendalikan emisi CO2 agar tetap berada dalam kisaran keseimbangan karbon dan melestarikan ekosistem untuk menyerap karbon. Penyerapan karbon dilakukan oleh tanaman melalui proses fotosintesis: CO2 diserap dan diubah menjadi karbon organik yang disimpan dalam bentuk biomassa.

Pemerintah Indonesia mentargetkan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% melalui upaya sendiri pada tahun 2030. NDC merupakan payung yang memberikan acuan target dan strategi untuk mencapai implementasi enam area prioritas termasuk ekosistem dengan fokus pada sektor kelautan.

Saat ini, sektor kelautan termasuk dalam elemen utama adaptasi ekosistem dan program ketahanan bentang alam. Kedepannya, sektor kelautan juga diharapkan dapat berkontribusi dalam elemen mitigasi, khususnya melalui blue carbon.

Ada dua istilah dalam karbon yaitu karbon hijau dan karbon biru. Karbon hijau adalah kandungan karbon tanaman darat seperti hutan, rerumputan, semak, dan jenis tanaman klorofil lainnya. Sementara itu, karbon biru adalah karbon yang disimpan, diserap, atau dilepaskan dari vegetasi dan sedimen ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut.

Hafizt (2011), menjelaskan bahwa selain mampu menyerap karbon di atmosfer lebih tinggi dari daratan, lautan sebagai penyerap karbon biru memiliki kemampuan menyimpan karbon hingga jutaan tahun, melebihi hutan tropis di darat.

Data Pusat Penelitian dan Pengamatan Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2022) menyebutkan hingga akhir tahun 2022, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya alam pesisir yang melimpah, salah satunya hutan mangrove. Ini adalah hutan yang tumbuh di air payau dan dipengaruhi oleh pasang surut.

Mangrove tumbuh di 124 negara tropis dan subtropis dengan luas sekitar 15,2 juta hektar di dunia. Indonesia mewakili 48% luas hutan bakau dunia bersama dengan Brasil, Nigeria, dan Meksiko. Sebagai rumah bagi 25% hutan mangrove dunia dengan luas 3,5 juta hektar, Indonesia berupaya memanfaatkan ekosistem mangrove dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

Ekosistem mangrove terdapat di 257 kabupaten/kota. Sebanyak 43 dari 70 jenis mangrove di dunia terdapat di Indonesia. Hutan bakau Indonesia menyimpan lima kali lebih banyak karbon per hektar daripada hutan tropis dataran tinggi.

Hutan mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik karbon (PgC). Bagian bawah ekosistem menyimpan 78% karbon di tanah, 20% karbon di pohon hidup, akar atau biomassa. Oleh karena itu, hutan mangrove kini didorong menjadi bagian dari agenda adaptasi perubahan iklim.

Ekowisata Mangrove di Teluk Youtefa Jayapura (ANTARA FOTO/Sakti Karuru/YU)

Perlindungan Karbon Biru

Ekosistem pesisir telah diidentifikasi secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan hutan pedalaman. Ekosistem pesisir meliputi hutan bakau, rawa payau, dan padang lamun, yang merupakan faktor penting yang teridentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

Pengembangan karbon biru sangat penting dan potensial di Indonesia, khususnya ekosistem mangrove. Menjaga dan meningkatkan ekosistem mangrove merupakan cara yang ampuh untuk melindungi ekosistem laut Indonesia sekaligus menciptakan penyerapan karbon yang baik.

Pelestarian ekosistem karbon biru merupakan solusi alami terbaik dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Perubahan iklim yang dipicu oleh meningkatnya jumlah CO2 dan beberapa gas lainnya menyebabkan panas matahari terperangkap di atmosfer bumi.

Keadaan ini memicu mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem akibat kebakaran dan kekeringan, serta naiknya permukaan air laut hingga daratan akan tenggelam. Beberapa efek rumah kaca ini pasti merugikan dan berbahaya jika tidak segera diperbaiki.

Berdasarkan Surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tanggal 7 Februari 2020 perihal Penunjukan Warga Negara Penanggung Jawab Isu Kelautan Perubahan Iklim, Kementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas merumuskan materi pengajuan dan mengkoordinasikan pelaksanaan adaptasi dan tindakan mitigasi di laut.

Oleh karena itu, Kementerian Kelautan perlu memperkuat ekosistem karbon biru, dalam artian memperluas dan menjaga secara ketat kawasan konservasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Selain itu, diperlukan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berdasarkan kuota, pengembangan budidaya perikanan berkelanjutan, dan pengaturan pemanfaatan ruang laut dan pulau-pulau kecil yang mengutamakan perlindungan ekosistem.

Karena karbon biru memiliki pengaruh besar pada perekonomian Indonesia dan global, ekosistem pesisir perlu direstorasi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dukungan dan kerjasama antar pemangku kepentingan perlu dilakukan agar fungsi ekosistem pesisir untuk menyerap karbon dan menyimpannya sebagai karbon biru dapat dilindungi dan ditingkatkan.

Semua pemangku kepentingan perlu mendorong inisiatif karbon biru yang selalu berorientasi pada dampak berkelanjutan. Makna dari prakarsa ini adalah selama manusia melakukan kegiatan memperoleh dan menyalurkan kebutuhan sehari-hari harus berbasis pada karbon biru yang tidak mengubah atau mencemari lingkungan.

Penggunaan konsep ekowisata dapat menjadi salah satu alternatif dalam memanfaatkan ekosistem pesisir yang masih peduli terhadap kelestarian lingkungan. Selain itu, upaya pemulihan ekosistem karbon biru dilakukan dengan penghutanan kembali vegetasi pantai seperti mangrove. Berbagai kampanye terkait donasi pohon untuk kawasan pesisir juga menjadi ruang edukasi dan motivasi bagi masyarakat untuk berperan dalam menyelamatkan bumi.

Terakhir, upaya yang dapat berdampak besar adalah meningkatkan persyaratan karbon biru dalam pengaturan kebijakan. Tujuan utamanya adalah memberikan sanksi kepada pelanggar yang merusak ekosistem karbon biru dan mewajibkan pihak lain untuk terus menjaganya.

Termasuk yang perlu diperhatikan pemerintah adalah koordinasi kebijakan dan program antara Kementerian Kelautan dan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Direktorat Pusat Pengendalian Iklim, khususnya terkait pengelolaan mangrove.

Demikian pula secara komersial, pemerintah juga perlu membedakan harga komoditas green carbon dan blue carbon pada bursa perdagangan karbon yang akan segera ditetapkan pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Idealnya, pertukaran karbon dikembangkan dengan konsep perdagangan komoditas yang memiliki harga berbeda untuk setiap komoditas sehingga nilai strategis mangrove sebagai karbon biru dapat lebih optimal secara ekonomi.