Sistem PPDB Zonasi Usang, Lahirkan Nepotisme di Sistem Pendidikan

Logo

Praktik jual beli kursi, pungli, dan siswa “titipan” kerap muncul pada sistem PPDB. Di kota besar, jumlah sekolah negeri dan daya tampung umumnya lebih sedikit ketimbang jumlah calon siswa. Anak-anak miskin tetap tak mendapat prioritas sekolah.

 

Kebijakan penerimaan peserta didik baru atau PPDB melalui sistem zonasi telah berjalan tujuh tahun sejak pertama kali diterapkan di era Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy. Bukan makin bagus, sistem zonasi justru membuka beragam celah kecurangan dan melahirkan masalah anyar di dunia pendidikan.

Kisah dari Nurma (bukan nama asli), 42 tahun, bisa menjadi contoh. Ia akan memasukkan sang putri ke sekolah menengah atas tahun depan. Nurma menargetkan putrinya masuk di salah satu SMA favorit di Jakarta Selatan. Masalahnya domisili mereka berada di Tangerang Selatan.

Nurma tak hilang akal. Ia kemudian titip memasukkan nama sang anak ke Kartu Keluarga (KK) salah satu kerabat di Jakarta Selatan sejak 2022 lalu. Artinya, ia sudah matang menyiapkan “taktik” mengakali sistem zonasi, dua tahun sebelum PPDB 2024 dibuka pada bulan Juni.

“Ya mau gimana, di sini SMA-nya kurang bagus dibanding Jakarta. Harusnya PPDB itu saingan nilai atau tes saja, susah memberi yang terbaik ke anak kalau begini ketentuannya,” kata Nurma saat berbincang bersama Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Sebetulnya trik yang dipakai Nurma tidak menyalahi aturan. Pasal 17 ayat 2 Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB memang mengakomodir perpindahan domisili calon peserta didik. Domisili pada kartu keluarga calon peserta didik dapat berpindah alamat paling singkat satu tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB.

Posko pelayanan PPDB (ANTARA FOTO/Moch Asim//foc.)

Selain Nurma, ada beberapa pengalaman orang tua calon siswa yang menggunakan trik serupa dengan cara membeli rumah kedua di area zonasi sekolah yang dituju. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga mencatat masalah migrasi domisili yang selalu berulang setiap tahun pelaksanaan PPDB.

Umumnya terjadi di wilayah yang punya sekolah ‘unggulan’. Modusnya menitipkan nama calon siswa ke KK warga sekitar. “Kasus ini pernah terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan terbaru di kota Bogor,” terang Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, Sabtu (29/7).

Menurut Satriawan, modus pindah KK ini harusnya bisa diketahui dan diantisipasi sejak awal oleh pengurus rukun tetangga dan warga (RT/RW) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sebab, hal tersebut sudah terjadi berulang kali.

Inspeksi mendadak ke sekolah-sekolah yang dilakukan Walikota Bogor Bima Arya di ujung proses PPDB malah menunjukkan Pemda tidak punya sistem deteksi sejak awal.

Sebelumnya Bima Arya melakukan sidak penerapan PPDB zonasi di sekolah-sekolah area Bogor. Ia menduga terdapat manipulasi data dalam sistem PPDB zonasi, sehingga mendapat beragam aduan terkait penolakan sekolah terhadap calon siswa yang berada di satu zona, penggunaan KK palsu, hingga jual beli kursi yang nilainya bervariasi.

Praktik jual beli kursi, pungli, dan siswa “titipan” dari pejabat atau tokoh yang disebut Bima Arya, pernah juga terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok. Panitia PPDB sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru, tidak punya kuasa menolak siswa titipan sehingga diam-diam praktik ini terus terjadi.

Aksi onkum tersebut salah satunya pernah dilakukan oleh anggota DPRD kota Bandung dalam PPDB 2022. Di Bengkulu dalam PPDB 2017-2023, ada indikasi oknum guru melakukan jual beli bangku kepada calon orang tua siswa agar diterima PPDB.

Ada juga yang saling kunci. Oknum ormas mengancam membocorkan ke publik nama-nama siswa dan pejabat yang melakukan titipan. “Tapi mereka juga menjual jasa titipan dengan tarif tertentu kepada calon orang tua siswa,” ucap Satriawan.

Di sisi lain, menanggapi beragam keluhan tentang PPDB zonasi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim ogah disalahkan. Ia merasa kena getah atas kebijakan yang dirancang oleh menteri sebelumnya, Muhadjir Effendy.

“Kebijakan zonasi itu bukan kebijakan saya. Itu kebijakan sebelumnya, Pak Muhadjir,” ujar Nadiem di sela-sela acara Belajar Raya 2023 di Posbloc, Jakarta, Sabtu (28/7).

Namun saat menjabat, Nadiem mengaku tak bisa serta merta mengubah kebijakan PPDB zonasi karena dalih signifikansi yang penting. Salah satunya, menguntungkan calon siswa yang tak mampu secara ekonomi untuk belajar di sekolah negeri.

Aturan PPDB zonasi memang menitikberatkan pada penerimaan berdasar jarak domisili siswa, umur, prestasi, prioritas calon siswa keluarga miskin, dan perpindahan tugas orang tua. “Kami sebagai satu tim merasa ini adalah suatu kebijakan yang sangat penting. Tapi sudah pasti bakal merepotkan saya. Saya kena getahnya setiap tahun karena zonasi,” ujar Nadiem.

Sekolah dasar terdampak zonasi (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.)

Jumlah Sekolah Negeri Tak Mencukupi

Loka Widyasti, 38 tahun, baru-baru ini memasukkan anaknya ke sekolah dasar negeri di area Jakarta Selatan. Ia tak punya banyak kesulitan saat melakukan PPDB zonasi karena jarak rumahnya berada dekat dengan lima SD negeri.

Tapi ia ingat, jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah itu hanya ada 2 sekolah, sementara SMA-nya nihil. Setelah mempelajari syarat-syarat PPDB zonasi, ia memutuskan memilih SD yang berjarak tiga kilometer dari rumah. Tujuannya agar sang anak bisa mudah memilih sekolah lanjutan saat PPDB zonasi SMP nanti.

“Jadi saya justru keluar dari zonasi terdekat sekitar 500 meter. Di sistem situs PPDB, nama sekolah yang dituju ada, meski jauh. Ya, mengakali supaya bisa meneruskan ke SMP dan SMA negeri, supaya nanti tidak was-was lagi,” ujar Loka pada akhir Juli lalu.

Tadinya Loka juga sudah menyiapkan rencana cadangan memasukkan sang anak ke sekolah swasta bila gagal diterima di sekolah tersebut. Solusi ini juga banyak diambil keluarga lain yang terdepak dari seleksi PPDB zonasi, atau sesimpel ogah terlibat dalam sistem pencarian seolah yang ruwet.

P2G menemukan beberapa modus kecurangan PPDB, juga mengelompokkan permasalahan umum ketersediaan kursi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota, sekolah seringkali kelebihan calon peserta didik baru karena daya tampung terbatas.

Jumlah sekolah negeri dan daya tampung sekolah umumnya lebih sedikit ketimbang jumlah calon siswa. Walhasil calon siswa terlempar meski berada di satu zona. Daya tampung siswa juga makin mengecil di jenjang sekolah yang lebih tinggi karena sebarannya tak merata.

“Contoh di DKI Jakarta, jumlah calon peserta didik baru (CPDB) 2023 jenjang SMP/MTs adalah 149.530 siswa, tetapi total daya tampung hanya 71.489 siswa atau sekitar 47,81% saja,” ungkap Satriawan.

Sementara pada jenjang SMA/MA, jumlah CPDB mencapai 139.841 siswa, namun total daya tampung hanya 28.937 atau 20,69%. Daya tampung jenjang SMK justru lebih sedikit lagi hanya 19.387 siswa atau hanya 13,87% saja.

“Artinya mau jungkir balik, tetap tidak bisa serap semua siswa. Sedangkan calon siswa semakin banyak. Implikasinya tidak semua calon siswa diterima di sekolah negeri, swasta menjadi pilihan terakhir,” lanjut Satriwan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian menyiasati terbatasnya kursi sekolah negeri dengan dengan solusi PPDB Bersama. Anak-anak yang tarlempar dan tak diterima di sekolah negeri, dapat bersekolah di sekolah swasta dengan penuh oleh Pemprov.

Sayang PPDB Bersama tak diminati sekolah swasta terbaik di Jakarta.

Solusi lainnya dengan membangun Unit Sekolah Baru (USB) atau tambahan ruang kelas juga tak bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta karena faktor biaya besar dan keterbatasan lahan baru. Padahal Jakarta punya APBD yang besar. Entah bagaimana daerah lain dengan jumlah APBD yang lebih kecil.

Warga keluhkan sistem zonasi PPDB di Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.)

Evaluasi Aturan PPDB Zonasi

PPDB semula dibentuk dengan tujuan membangun sistem pendidikan yang berkeadilan dan punya kualitas merata antar sekolah negeri, baik dari sarana prasarana, guru, kurikulum, dan standar lainnya.

Namun beragam kecurangan yang ada justru membuat tujuan ini kabur. Anak-anak miskin tetap tak mendapat prioritas sekolah. Sedangkan keturunan yang punya kuasa dan uang dapat dengan mudah memilih sekolah negeri dengan aksi sogok menyogok dan nepotisme lain.

“Fakta menunjukkan kualitas sekolah di Indonesia belum merata, sehingga orang tua masih berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah unggul. Tingkat kesenjangan kualitas antar sekolah negeri masih terjadi bahkan makin tinggi,” tekan Satriwan.

Lihat saja, jika sekolah negeri di perkotaan memiliki jumlah pendaftar yang membludak. Kondisi sebaliknya terjadi di sekolah wilayah pedesaan.

Kasus ini terjadi di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, Batang, Pangkal Pinang, Jepara, Yogyakarta, dan Semarang. Di Batang, ada 21 SMP negeri kekurangan siswa pada PPDB 2022. Lalu di Jepara, dalam PPDB 2023 hingga akhir Juni tercatat 12 SMP negeri kekurangan siswa.

“Di Yogyakarta ada 3 SMA negeri kekurangan siswa. Di kabupaten Semarang dalam PPDB 2023 ini sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru, sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah,” kata Feriansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.

Sepinya peminat di sekolah pedesaan ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah calon siswa, jumlah sekolah negeri banyak dan berdekatan, sementara lokasi sekolah lain berada jauh di pelosok pedalaman atau perbatasan, dengan akses yang sulit.

Inti persoalannya, sebaran sekolah negeri tak merata. Sebelum melakukan pembangunan fasilitas pendidikan, pemerintah tak menganalisis faktor geografis dan kependudukan, sehingga terjadi ketimpangan jumlah sekolah antara kota dan desa.

“Solusi sekolah kekurangan murid adalah merger, menggabungan sekolah negeri dan memperbaiki akses infrastruktur dan transportasi menuju sekolah,” kata Feriansyah.

Namun, sama seperti membangun sekolah baru, solusi merger sekolah juga memakan biaya tinggi dan harus melibatkan kementerian lain. Jadi entah, apakah solusi ini bakal dijalankan pemerintah, atau malah diabaikan begitu saja.

Sementara itu, lantaran terlalu banyak mendapat sorotan, sistem PPDB zonasi kemungkinan akan dievaluasi. Meski belum tahu kapan waktunya, informasi tersebut dibenarkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito.

Pemerintah berencana mengevaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat.

“Seleksi umur menjadi lebih aman dibanding menggunakan surat keterangan domisili, karena KK bisa palsu. Seleksi umur dapat dipastikan (data) siswa tersebut sudah digunakan TK/SD,” tutur Warsito, Sabtu (22/7).

Kita patut berharap agar di tahun depan segala karut-marut penerimaan siswa baru ini bisa tuntas tertangani. Dengan begitu, amanat Pasal 31 UUD 1945 ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” bisa tertunaikan. Semoga.